RASIONALITAS, RASIONALISME DAN AGAMA
Setelah
saya membaca tentang kekacauan yang terjadi di abad ke-20 yang dimana filosof
prancis Auguste Comte merumuskan apa yang disebut “hukum tiga tahap” Roh
manusia dalam perkembangannya melalui tiga tahap yaitu tahap teologis, tahap
metafisik, dan tahap positivistik. Dalam hukum tiga tahap ini Comte berhasil
merumuskan suatu “kepercayaan” yang terjadi di abad ke-19 dimana menjadi abad
yang mengalami kemajuan dan mencapai puncaknya. Sekarang pada akhir abad ke-20
sudah tidak ada orang yang percaya dengan hukum tiga tahap yang Comte buat itu
karena pada saat itu cara berpikir irasional dan kemajuan ilmiah yang
berkembang pesat.
Melalui
latar belakang tentang cara berpikir orang-orang abad ke-19 dan akhir abad
ke-20, saya diajak kembali untuk melihat apa yang terjadi pada abad sebelumnya
tentang rasionalitas, pertama membahas tentang rasionalitas ilmiah yang dimana
rasional adalah dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti yang objektif,
bukan seperti segala keyakinan etika,
metafisika dan agama ini semua digolongkan sebagai tidak rasional, seperti
halnya dengan agama Tuhan sendiri tidak termasuk dunia empiris karena tidak
dapat dibuktikan dengan argumentasi empiris.
Ada
tokoh yang membuat sejarah tentang Hubungan iman dan pengetahuan yang telah
dapatkan yaitu dari Thomas Aquinas mengatakan bahwa kebenaran hanya ada satu,
dan dia mengatakan juga tidak mungkin ada pertentangan antara ilmu pengetahuan
dan iman. Terdapat suatu filsafat dan teologi katolik yang mengatakan fides quarens intellectum berarti iman
mencari pengertian. Artinya, percaya dalam arti sesungguhnya bukan sesuatu yang
buta, melainkan manusia ingin dan perlu untuk mencoba memahami apa yang di
imaninya. Tokoh Karl Popper menurutnya verifikasi itu tidak ada, yang ada
hanyalah falsifikasi artinya pencarian fakta yang memastikan bahwa sebuah
hipotesis tidak dapat dipertahankan, pendekatan ini menyangkal bahwa
pernyataan-pernyataan tentang realitas alami lebih rasional daripada
pernyataan-pernyataan lain. Sedangkan tokoh yang lain yaitu Jurgen Habermas
membedakan antara tindakan berasionalitas sasaran dan tindakan berasionalitas
saling pengertian dimana yang kedua harus ada supaya yang pertama dapat
berjalan.
Tidak
ada suatu rasionalitas yang ilmiah, misalnya rasionalitas ilmu teologi lain
daripada rasionalitas ilmu kimia maupun rasionalitas ilmu sosiologi.
Pernyataan-pernyataan keagamaan tidak memiliki rasionalitas fisika, tetapi itu
tidak berarti bahwa pernyataan keagamaan tidak memiliki rasionalitas, sehingga
mengenai hal itu para filosof modern sepakat masuk ateis (tidak menyangkal
adanya Tuhan, tetapi menyangkal bahwa kita dapat mengetahui sesuatu tentang
Tuhan). Teologi maupun pemimpin gereja tidak menemukan kesulitan dalam menerima
ajaran evolusi modern dengan sekaligus mempertahankan kebenaran kitab suci,
akan tetapi sekarang banyak yang mempertanyakan tentang kontradiksi itu dan
heran kalau mendengar bahwa orang bagi orang kristen tak ada masalah menerima
ajaran evolusi. Rasionalitas kehidupan beragama tidak dapat dipertahankan
dengan menutup diri terhadap modernitas, penutupan itulah yang sebenarnya
dimaksud dengan fundamentalis. Melainkan orang beragama harus berani membua
diri terhadap segala sudut rasionalitas modern, terhadap metodologinya,
kritiknya tentang agama. Maka rasionalitas ilmu teologi harus dikembangkan baik
dalam diskursus antara teolog dari agama yang bersangkutan sendiri dengan
kalangan luar dengan teolog agama-agama lain, sehingga mereka dapat melakukan
sharing dengan setiap pernyataan-pernyataan tentang ilmu lain.
Disini
kita dapat memperhatikan perbedaan antara rasional dan rasionalistik yaitu yang
satu harus dituntut dari manusia beragama modern, rasional berarti
mempertanggungjawabkan pendiriannya terhadap pertanyaan kritis, tantangan dan
serangan argumentasi. Sedangkan rasionalistik menganggap bahwa kita hanya boleh
mempercayai sesuatu yang sudah terbukti betul. Diferensiasi yang khas bagi
masyarakat modern itu mempunyai implikasi bahwa manusia modern bergerak dalam
berbagai lingkungan komunikatif, didalam lingkungan tersebut setiap orang
mempunyai pandangannya sendiri, terjadi debat, dan perbedaan kesatuan pola
pikir.
Dari
setiap uraian penjelasan yang saya dapatkan dari hasil bacaan saya mengenai
rasionalisme, rasionalitas dan agama saya dapat mengambil suatu kesimpulan
bahwa dalam setiap pola pikir tiap-tiap orang pasti berbeda, ada yang berpikir
secara rasional maupun irasional, sehingga disini dalam kehidupan beragama kita
harus berkomunikasi dengan baik di lingkungan dengan agama-agama lain, karena
meskipun kita berbeda agama tetapi memeluk suatu nilai-nilai etis yang sama.
Comments
Post a Comment