Pertanyaan-Pertanyaan Kritis Teologi Sosial
1. Kemukakan pendapat Anda tentang hakekat teologi sosial dalam
hubungannya dengan ilmu-ilmu lain termasuk di dalamnya disiplin ilmu teologi.
Jawaban:
Teologi
sosial merupakan ilmu yang mempelajari hakekat sang ilahi (yang transenden) di
dalam kehidupan masyarakat. Teologi sosial memiliki esensi pembebasan,
keadilan, kesetaraan, maupun cinta kasih di antara sesama manusia. Kenyataan
bahwa dunia semakin berkembang dalam setiap lini kehidupan, mengakibatkan
ketimpangan sosial yang terjadi dimana-mana. Ketika hal itu terjadi, maka
teologi hadir sebagai suatu ilmu yang dapat mengkritisi setiap bentuk-bentuk
ketidakadilan yang terjadi. Lebih daripada itu, teologi sosial dapat menjadi
pisau analisis dalam setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat, baik yang
kelihatan (isu-isu kemiskinan, ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan sebagainya)
maupun terhadap hal yang tidak kelihatan (mengkritisi sistem maupun struktur
sosial yang tidak adil; korupsi, kapitalisme, terorisme, politik yang
menyengsarakan masyarakat, dan sebagainya). Dengan demikian, teologi sosial
tidak bisa terlepas dari ilmu-ilmu lain, sehingga harus bersifat
interdisipliner. Teologi sosial sebagai suatu alat untuk melihat, merefleksikan
secara kritis persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar masyarakat. Oleh
karena itu, teologi sosial benar-benar nyata dalam setiap jalinan-jalinan
ilmu-ilmu lain, yang berfungsi untuk memasuki jaringan-jaringan ilmu-ilmu lain,
sehingga dapat memberi kontribusi yang nyata dalam dunia ini. Karena teologi
sosial lebih menekankan pada aspek doing
theology, yang dimaksudkan di sini adalah suatu tindakan yang membawa pada
perubahan yang transformatif, juga dapat melakukan konstruksi (baik
dekonstruksi dan rekonstruksi) dalam setiap peristiwa yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, baik dalam tingkat lokal maupun global sesuai dengan
konteksnya masing-masing.
Teologi sosial memiliki relasi yang
begitu dalam dengan ilmu teologi, karena berbicara mengenai iman bukan saja
hubungan vertikal dengan sang ilahi, lebih daripada itu iman yang sesungguhnya
nyata dalam tindakan sosial di dalam kehidupan ini. Banawiratma membagi menjadi
dua dimensi, yakni teologi atas dan teologi bawah. Dalam pengertian ini,
Banawiratma ingin menyampaikan bahwa teologi sosial merupakan suatu bentuk
refleksi dari orang-orang percaya dalam menghayati iman mereka di setiap
konteks kehidupan mereka yang paling konkret. Jadi, berteologi bukan saja
mempelajari, menghayati Tuhan lewat kebenaran kitab suci, kontemplasi, lebih
daripada itu berteologi yang sejati adalah berteologi yang bersumber dari
pengalaman dan permasalahan umat manusia. Berteologi dalam setiap bidang
kehidupan, seperti: bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, lingkungan, dan
sebagainya, sehingga penghayatan akan iman terbentuk dalam konteksnya
masing-masing. Pada akhirnya, teologi sosial
hadir untuk menyatakan nilai-nilai kerajaan Allah
di tengah-tengah masyarakat yang diwarnai oleh berbagai bentuk penindasan,
ketidakadilan di dalamnya.
2. Dengan mendasarkan pada pengalaman Anda, berikanlah argumentasi
bahwa isu-isu teologis tertentu (yang Anda pilih) dapat menjadi bagian penting
dalam pengusahaan teologi sosial dalam konteks masyarakat Indonesia, khususnya
yang nampak secara aktual dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Jawaban:
Isu-isu
yang saya rasakan dan refleksikan dalam konteks masyarakat Indonesia ada tiga
hal, yakni (1) Persoalan korupsi, (2) kemiskinan, dan (3) isu lingkungan.
Mengapa saya memilih ketiga isu tersebut? Karena persoalan teologis dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir merambat ke-tiga hal ini. Baik dari tingkat atas
(Korupsi), kemudian tingkat bawah (kemiskinan), dan di sekitar masyarakat (Isu
lingkungan). Pertama, persoalan korupsi yang menyebabkan ketimpangan sosial
terjadi di setiap lini kehidupan. Korupsi sebagai akar permasalahan, mengapa
demikian? Karena banyak orang-orang pintar di luar sana menggunakan ilmunya
untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompoknya, tanpa memikirkan
masyarakat luas. Permasalahan korupsi ini menyangkut krisis moral yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat, sehingga terjadi krisis kepemimpinan di lain
pihak. Korupsi dikategorikan sebagai suatu tindakan anomie (penyimpangan) yang
tidak bermoral dan tidak mempunyai rasa ‘memiliki’ dalam masyarakat. Karena
nilai-nilai dan norma dalam masyarakat semakin longgar, sehingga social belt (sabuk pengikat) dalam suatu
masyarakat menjadi kendor. Hal ini terjadi ketika konsensus bersama dipatahkan
oleh segelintir kelompok, yang ingin mensejahterahkan dirinya maupun
kelompoknya. Ketika hal itu terjadi, juga didukung oleh permasalahan hukum yang
lemah, terlebih hukum yang ‘pilih kasih’ terhadap kaum kelas atas, maka
ketimpangan sosial akan terus menjadi permasalahan di negara ini. Hal seperti
korupsi dianggap sebagai hal yang biasa, karena ikatan-ikatan dalam suatu
masyarakat hanya dikuasai oleh para elit, sehingga korupsi tetap merajalela
hingga saat ini. Isu korupsi ini masuk dalam tatanan permasalahan teologi
sosial, karena ini merupakan isu yang krusial sehingga harus ditangani secara
tegas. Tugas teologi sosial, yakni harus berani mengkritisi pemerintah dengan
setiap tindakan, maupun kebijakan yang dilakukan dalam masyarakat. Apakah itu
sudah adil atau malah menyengsarakan masyarakatnya. Sikap kritis dan
non-konformis itulah tugas teologi sosial dalam menganalisa permasalahan ini.
Isu
berikutnya adalah kemiskinan. Kemiskinan di sini lebih kepada kemiskinan
struktural dalam suatu masyarakat. Kemiskinan yang memang pada dasarnya telah
diatur untuk memiskinkan kaum yang lemah. Hal ini terlihat dari sistem yang
tidak adil, ketika bidang pendidikan dan kesehatan yang tidak merata, sehingga
menghasilkan masyarakat yang memiliki kelas dalam masyarakat. Dengan demikian,
maka suatu masyarakat menjadi timpang dengan fenomena yang terjadi, maka
peristiwa-peristiwa kejahatan, kriminal, bahkan terorisme bisa menjadi bentuk
perlawanan terhadap hal tersebut. Isu kemiskinan ini merupakan bagian penting
dari teologi sosial liberatif/solidaritas di dalam masyarakat, karena isu
kemiskinan tidak bisa lepas dari satu sistem yang membelenggu, maka dengan
demikian sebagai suatu masyarakat harus mampu menghadirkan kerajaan Allah
dengan cara bersama-sama memberantas kemiskinan yang membelenggu ini.
Isu
ketiga adalah permasalahan lingkungan, yang sering kali menjadi korban
pembangunan di tengah-tengah masyarakat. Baik lingkungan laut maupun hutan dan
ekosistemnya. Mengatasnamakan pembangunan sebagai bentuk terhadap kesejahteraan
dan kemajuan, di sisi lain terjadi penindasan terhadap lingkungan. Manusia
semakin tamak dengan tujuan hidupnya, tanpa memikirkan lingkungan yang telah
memberi kehidupan baginya. Lingkungan hanya dipandang sebagai alat untuk
melegitimasi penguasa, bahkan sebagai proyek untuk mendapatkan uang dan
memperkaya diri. Isu teologi sosial tidak bisa lepas dengan hal ini, karena
permasalahan lingkungan juga merupakan permasalahan bersama dalam suatu
masyarakat. Ketika peristiwa kabut asap terjadi di Kalimantan Tengah dan
Sumatera Selatan, maka isu sosial muncul dalam kejadian ini. Teologi sosial
sebagai suatu alat analisa dalam suatu masyarakat perlu memperhatikan secara
mendalam persoalan lingkungan ini, karena ini masuk dalam persoalan krusial
sepuluh tahun terakhir ini. Gereja sebagai lembaga sosial harus bisa bertindak
tegas terhadap ketidakadilan yang terjadi terhadap lingkungan.
3. Kemukakanlah pendapat kritis Anda terhadap penggunaan lingkaran
pastoral yang meliputi analisis sosial dan refleksi teologis sebagaimana
dikemukakan oleh Joe Holland dan Peter Henriot.
Jawaban:
Lingkaran
pastoral yang dikemukakan oleh Holland dan Herriot, terdiri atas pengalaman
atau penyelundupan (insertion),
analisa sosial, refleksi teologis dan tindakan. Penggunaan lingkaran pastoral
sebagai alat dalam menganalisa permasalahan sosial merupakan hal yang tepat,
tetapi terkadang hal ini tidak berjalan sesuai dengan teorinya. Mengapa
demikian? Karena isu-isu kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan, maupun penindasan
hanya sampai pada ranah reflektif belaka. Artinya, peristiwa-peristiwa
ketidakadilan hanya sampai pada ranah penilaian secara teologis, baik dan
buruknya suatu keadaan tertentu, yang dinilai berdasarkan kitab suci. Ketika
hal itu terjadi, maka keadaan dalam masyarakat menjadi semakin timpang. Karena,
permasalahan-permasalahan teologis hanya berhenti pada ranah kognitif (analisa)
dan afektif (refleksi) belaka. Hal yang miris terjadi ketika gereja-gereja
sebagai suatu institusi yang berada dalam dunia, yang dipanggil untuk
menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah, tetapi bertindak tidak sesuai dengan
tujuannya. Artinya, gereja semakin nyaman dengan kehidupannya sendiri, yakni
hidup dalam zona nyamannnya. Pelayanan gereja hanya berfokus pada pelayanan
yang bersifat rutinitas belaka, terlebih pelayanan diakonia yang hanya memberi
kesan kepada jemaat bahwa gereja tidak mengerti akar persoalan dari jemaat itu
sendiri. Dalam pengertian ini, gereja semakin memberi ruang bagi orang yang
lebih “berkuasa” (para pemilik modal) status
quo, karena gereja tidak memiliki sifat kritis realistis dengan keadaan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Gereja hadir hanya sebagai penonton,
bukan sebagai pemain yang aktif menyuarakan suara-suara kenabian di
tengah-tengah dunia ini. Jika terjadi demikian, maka peran gereja semakin
dipertanyakan, bagaimana gereja dapat menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah,
jika gereja hanya bersikap pasif tanpa melakukan perubahan yang berarti.
Saya
melihat bahwa lingkaran pastoral Holland dan Herriot ini memberi ruang bagi
siapa saja yang ingin berkontribusi dalam mengupayakan keadilan, dan
kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat. Saya kembali melihat dan mengkritisi
peran gereja sebagai lembaga spiritual dan sosial di tengah-tengah masyarakat. Dalam
lingkaran pastoral ini, hal pertama yang perlu dilakukan adalah pengalaman atau
penyelundupuan (insertion) di
tengah-tengah realitas kehidupan masyarakat atau jemaat secara khusus. Hal ini
sebenarnya sudah dilakukan oleh gereja, tetapi yang kurang di sini adalah
kepekaan terhadap realita sosial yang ada, sehingga analisis sosial terhadap
permasalahan menjadi kurang tajam. Ketika gereja benar-benar peka dan
menunjukkan identitasnya sebagai alat Tuhan dalam dunia, maka sudah sepatutnya
gereja dapat menganalisis, merefleksikan kehadiran Tuhan dalam masyarakat. Dengan
demikian, pelayanan yang dilakukan oleh gereja dapat menjadi pelayanan yang
memberdayakan juga menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah di tengah-tengah
masyarakat. Tidak berhenti di situ saja, ketika telah melakukan tindakan sosial
di tengah masyarakat, maka gereja harus merasakan pengalaman atau
penyelundupannya kembali di tengah-tengah masyarakat, sehingga dapat memberi
sebuah pendampingan dan monitoring yang terus menerus bagi masyarakat. Agar
lingkaran pastoral tersebut bukan hanya sebatas pemikiran dan perasaan saja,
tetapi mampu memberi perubahan di tengah-tengah masyarakat.
4. Analisalah tiga persoalan krusial yang terjadi di Indonesia
berkaitan dengan persoalan sosial kohesi (social
cohesion) dan kemukakan pendapat Anda bagaimana teologi sosial dapat
beroperasi dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan tersebut.
Jawaban:
Saya
menganalisis tiga persoalan krusial di Indonesia yang berkaitan dengan kohesi
sosial adalah sebagai berikut; (1) Kejahatan horisontal, (2) permasalahan SARA dan
gender (Suku, Antar Golongan, Ras dan Agama) dan (3) Kasus bunuh diri. Saya
melihat bahwa tiga persoalan ini merupakan hal yang terus menerus menjadi headline berita di mana-mana.
Hal
ini terjadi terus hingga saat ini, sehingga terjadi anomie (penyimpangan) dalam
masyarakat, yang menyebabkan eksklusi sosial, bahkan terjadi marginalisasi,
alienasi dan dehumanisasi di tengah-tengah masyarakat. Persoalan krusial yang
pertama adalah tentang kejahatan horisontal yang setiap hari tidak luput dari
pemberitaan media. Peristiwa perampokan, begal, pemerkosaan, bahkan pembunuhan
selalu menjadi pemberitaan setiap hari. Melemahnya kohesi sosial dalam permasalahan
ini, terjadi karena berbagai tekanan yang dialami oleh pelaku, khususnya
tekanan ekonomi yang menghimpit, sulitnya lapangan kerja, terjadinya persaingan
dalam dunia pekerjaan, sehingga melemahnya pola interaksi horisontal antar
sesama masyarkat. Norma dan nilai di dalam masyarakat semakin tidak terpakai,
akibat individualisme yang begitu tinggi, sehingga kontrol sosial semakin
kurang di tengah-tengah masyarakat. Rasa memiliki di antara masyarakat semakin
memudar, akibat persaingan global dan modernisme terjadi. Tidak dapat
dipungkiri peristiwa kejahatan horisontal menjadi bagian penting dalam
permasalahan kohesi sosial yang terjadi.
Permasalahan krusial yang kedua adalah
isu SARA dan gender. Hal yang sering kali terjadi adalah konflik horizontal yang
mengatasnamakan agama, hal ini menjadi sebuah permasalahan yang begitu mendasar
dalam hubungannya dengan kohesi sosial. Kemudian, Banyak aliran kepercayaan
yang ditolak oleh pemerintah sebagai agama, melainkan sebagai sebuah
kebudayaan. Aliran-aliran kepercayaan baru dilindas oleh suara mayoritas
sehingga melakukan penindasan kepada kaum minoritas. Hal yang sama dialami oleh
orang-orang yang berorientasi seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender). Ketika mereka di marginalisasi oleh kaum mayoritas
(heteroseksual), maka secara langsung maupun tidak, masyarakat terbagi atas
kelompok-kelompok, hal ini mengakibatkan terjadinya penindasan secara masif
kepada kaum minoritas sehingga isu Hak Asasi Manusia nampak dalam hal ini. Persoalan
kohesi sosial terhadap hal tersebut membutuhkan suatu ikatan sosial yang bisa
menata permasalahan-permasalahan kolektif yang menindas tersebut.
Persoalan ketiga adalah kasus bunuh
diri yang terus menerus nampak di tengah kehidupan bermasyarakat. Hal ini
akibat alienasi (keterasingan) yang dialami oleh masyarakat, sehingga
menganggap dirinya tidak berarti di tengah-tengah masyarakat. Lemahnya kohesi
sosial membuat masyarakat semakin terasing dengan dunianya, jika tidak kuat
dengan gelombang dunia ini, maka bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tetapi,
terkadang peristiwa seperti ini dianggap biasa dalam suatu masyarakat,
khususnya masyarakat perkotaan. Peristiwa bunuh diri bukan saja masalah
individunya, melainkan permasalahan masyarakat juga. Hal ini bisa diantisipasi
dengan menanamkan ikatan sosial yang kuat di tengah-tengah masyarakat, agar
masyarakat memiliki solidaritas yang kuat satu dengan yang lainnya.
Teologi
sosial dapat beroperasi dalam tiga persoalan krusial di atas (Kejahatan Horisontal,
SARA dan Kasus Bunuh Diri), yakni dengan menghadirkan keadilan yang sejati di
tengah-tengah masyarakat. Teologi sosial bekerja dengan cara mengkritisi lebih
dalam persoalan-persoalan di atas, kemudian melakukan suatu analisa, refleksi
dan sampai pada tahap tindakan yang nyata. Teologi sosial harus mewujudkan
keterbukaan (inklusi) sosial untuk melakukan transformasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Lebih daripada itu, J. Jenson dalam tulisannya peta kohesi
sosial menyatakan bahwa perlu untuk melakukan penyembuhan dan rekonsiliasi
mendalam terhadap luka-luka batin/kehidupan yang dialami oleh korban-korban
penindasan. Teologi sosial berfungsi untuk merangkul dan memberdayakan
masyarakat yang termasuk golongan ‘marginal’, sehingga distribusi keadilan benar-benar
nyata dalam kehidupan masyarakat. Pada akhirnya civil society akan terasa di bumi pancasila, meskipun ini semua
adalah sebuah perjuangan dan proses panjang yang terus menerus dilakukan di
tengah-tengah masyarakat. Karena teologi sosial lebih melihat kepada proses
perubahannya, bukan semata-mata dari hasil suatu perubahan tersebut.
Comments
Post a Comment