Resensi Buku Fenomenologi Agama


Informasi Bibliografis

Judul Buku                 : Fenomenologi Agama.
Nama Pengarang       : Mariasusai Dhavamony.
Penerjemah               : A. Sudiarja, Ari Nugrahanta, Irwan Susiananta, Mispan Indarjo, Toto Subagya, dan Arda Irwan.
Penerbit                     : Kanisius
Bab                             : 13 (hlm 293-317).
Nama Mahasiswa      : Eleksio Petrich Pattiasina (75 2015 031)
Nama Dosen              : Dr. David Samiyono dan Dr. Nelman A. Wenny.

Pengantar Umum
Agama merupakan suatu obyek kajian yang bersifat dinamis, sehingga terus menerus berkembang dalam ruang dan waktu. Akibatnya, para penganut agama berusaha mencari jati diri melalui pengalaman spiritualnya terhadap agama lain. Proses mencari identitas tersebut bukan merupakan sesuatu yang final, melainkan suatu upaya berteologi dalam konteks masing-masing penganut agama. Mariasusai mencoba masuk melalui jalan yang sedikit berbeda dengan para teolog konservatif, yang segala sesuatunya tidak dapat dipisahkan dari pemahaman akan doktrin dan dogma, yang pada akhirnya menjadi ideologi bagi umat manusia. Dhavamony melihat agama sebagai sesuatu yang unik, sehingga diperlukan metode analisis yang berdasarkan pengalaman religius manusia, bukan dari sudut pandang agama yang bersifat dogmatis. Metode yang ia gunakan, yakni pendekatan fenomenologi agama. Hal ini sesuai dengan kepakarannya sebagai seorang filsuf dalam bidang ilmu pengetahuan dan mempunyai ketertarikan dalam bidang agama.
Pendekatan ini sangat baik untuk membantu memahami perkembangan agama yang dinamis ini. Karena pendekatan fenomenologi  ini membiarkan objek kajiannya yang berdiri sendiri, sehingga ilmuan atau peneliti dapat menangkap hakikat objek tersebut, sebagaimana objek tersebut menampakkan dirinya secara genuine, tanpa adanya intervensi subyektifitas dari manusia itu sendiri. Dari sudut pandang ini, Dhavamony ingin melakukan studi pendekatan terhadap agama dengan memperbandingkan berbagai gejala yang sama antar agama, baik dari simbol maupun ritualnya. Tujuan penulisan buku ini oleh Dhavamony, yakni ingin memberikan suatu bacaan dasar untuk studi-studi tentang agama, juga memberi suatu pemahaman baru terhadap cara pandang kita melihat fenomena agama yang terjadi dalam konteks masyarakat.

Rangkuman Gagasan Utama Bab Tigabelas: “Keselamatan”
Dhavamony mendeskripsikan serta menganalisi secara mendalam pemahaman tentang keselamatan berdasarkan agama-agama primitif sampai kepada agama-agama, yang sudah mapan berdiri dengan konsep mengenai keselamatannya. Fokus perhatian bab ini lebih terhadap cara-cara keselamatan dari setiap agama-agama, yakni melalui hubungan manusia dengan yang kudus itu. Baik melalui simbol maupun ritual yang ada di setiap agama. Dimulai dari pandangan keselamatan agama-agama primitif, yang melihat keselamatan sebagai bagian dari keselamatan kosmos. Hal utama yang dilihat oleh agama primitif adalah gejala kehancuran alam semesta, yang terus menerus terjadi sehingga dibutuhkan satu konsep keselamatan terhadap hal tersebut. Diperlukan ‘juruselamat’ yang mampu merenovasi bangunan kosmos yang sudah rusak oleh ulah manusia sendiri. Saya melihat bahwa agama-agama primitif dalam pandangan Dhavamony ini sangatlah kontekstual terhadap keadaan yang ada di sekitarnya. Tema keselamatan yang ditujukkan di sini adalah tema sentral, yang berfokus pada berbagai bidang kehidupan manusia untuk mengembalikan alam semesta pada kedamaian yang asali. Agama primitif melihat konsepsi keselamatan dari bidang sosial, yakni adanya keharmonisan di antara masyarakat, kemudian hidup yang bahagia, termasuk di dalamnya makanan yang melimpah (ekonomi).  Hal yang menarik dalam agama primitif,[1]  yakni mengenai perasaan dosa yang dihubungkan dengan perasaan moral. Artinya, bahwa setiap masyarakat primitif melalui agamanya memiliki suatu standar moral masing-masing untuk menentukkan kesalahan yang orang lain lakukan, dan hal mengenai dosa ini tidak bisa dari luar ke dalam (memandang secara subyektif), melainkan perlu memahami pandangan mereka tentang dosa yang genuine itu seperti apa dan bagaimana pemahaman mereka tentang keselamatan. Inti dari dosa dari masyarakat primitif adalah unsur antisosial, yakni suatu tindakan yang melanggar norma dan nilai di dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya melawan penguasa.[2] Pemahaman mengenai keselamatan dalam agama primitif menurut Dhavamony, yang mengutip pernyataan Fortes adalah orang yang menghayati hakikat kemanusiaan, yakni manusia yang penuh damai, jujur, penuh hormat, terbuka, ramah dan murah hati.[3] Konsep keselamatan di sini mengedepankan hak-hak kemanusiaan setiap manusia, tanpa pandang bulu.
Lebih lanjut Dhavamony mengkaji pemahaman mengenai keselamatan dari agama-agama mapan, yakni dimulai dari agama Hindu. Pemahaman keselamatan Hindu ini lebih menekankan keselamatan, yang bersifat individual. Hindu memahami bahwa manusia terikat terhadap hal-hal duniawi yang bersifat fana sehingga penuh dengan penderitaan. Untuk itu kunci keselamatan agama Hindu adalah moksha, yakni pembebasan dari penderitaan yang dirasakan oleh umat manusia itu sendiri. Manusia tidak bisa lepas dari Karma, yang menunjukkan hukum akibat tindakan seseorang , yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang seseorang lakukan sebelumnya. Maka dari itu, agama Hindu mencoba merumuskan keselamatan untuk keluar dari belenggu kejahatan yang mengikat manusia selama ini. Agama Hindu mengenal adanya kelahiran kembali dalam kehidupan selanjutnya, sehingga manusia harus hidup dengan melepaskan hasrat yang buruk dalam kehidupannya, yakni yang bersifat mementingkan diri sendiri. Ada tiga jalan keselamatan yang diterapkan dalam Agama Hindu, yakni jalan karya, jalan pengetahuan dan jalan cinta. Ketiga jalan tersebut memiliki benang merah, yakni ingin melepaskan hasrat dan kemarahan dalam diri manusia. Agar pembebasan yang diharapkan dapat terjadi, sehingga manusia dapat lahir kembali dengan menyadari bahwa dirinya selalu berada bersama dengan Yang Mutlak. Pada akhirnya, hakikat keselamatan agama Hindu adalah pemersatuan dengan Tuhan setelah lepas dari belenggu dosa itu.
Arti keselamatan Umat Buddha adalah terlepasnya manusia dari semua penderitaan yang ada dalam dunia ini. Ada dua paradigma mendasar keselamatan dari Umat Buddha, yakni adanya pembebasan dari yang jahat dan tercapainya nirvana. Ada kesamaan pemahaman antara Budha dan Hindu mengenai ajaran-ajaran pokoknya, bahkan pemahaman mengenai keselamatan. Hal ini terjadi ketika keadaan India abad ke 6 sampai abad ke 2 SM agak kacau, dan terjadi krisi politik sehingga terdengar kemerosotan moral, sehingga kepercayaan terhadap dewa-dewa sudah tidak cukup lagi, maka merosotlah hidup kesusilaan. Pada saat itu muncullah orang-orang yang ingin memperbaharui hidup di zaman itu, termasuk di dalamnya reformator penting Gautama (Buddha).[4] Dengan demikian pokok ajaran Buddha Gautama sama dengan Hindu, yakni  hidup adalah penderitaan.[5] Sehingga umat manusia harus terbebas dari penderitaan dan mencapai nirvana, yakni mengambil bagian dalam kebijaksanaan, belas kasih dan cinta dari Buddha sendiri yang tidak terbatas.[6]
Hal yang menarik selanjutnya, yakni pemahaman keselamatan dalam Agama Islam. Dalam Islam pemahaman tentang keselamatan terdapat dan dimulai juga diakhiri dari Qur’an, yang berasal dari yang ilahir sehingga mengikat secara umum seluruh keberadaan hidup manusia. Untuk mendapatkan keselamatan, umat Islam harus mengikuti teladan Allah dan teladan Rasul, serta mentaati hukum. Sehingga pemahaman tentang dosa adalah bentuk perlawanan terhadap perintah Allah dalam kehidupan ini. Dalam hal ini bentuk dosa manusia hanya bisa diampuni oleh Allah, yang adalah maha pengampun dalam Islam, sehingga dapat membawa manusia ke dalam keselamatan. Ada kesamaan yang baik untuk dilihat, yakni pemahaman mengenai keselamatan di antara agama Islam dan Yahudi. Kesamaannya adalah perintah untuk mengikuti Tora dan Qur’an, yang merupakan perintah Allah langsung kepada pengikutnya. Selain itu, dalam Yahudi memandang dosa sebagai bentuk perlawanan terhadap perintah Allah dalam Tora, sehingga diperlukan pengakuan dosa kepada Allah untuk masuk ke dalam keselamatan yang kekal.[7]

EVALUASI DAN REFLEKSI KRITIS
Tulisan Dhavamony bersifat sangat obyektif terhadap pemahaman setiap agama tentang keselamatan. Hal ini terlihat dari pendekatan yang ia gunakan, tanpa ada unsur penghakiman kepada agama lain. Deskripsi dan analisa yang mendalam mengenai keselamatan yang ditinjau dari pandangan agama-agama lain. Hal ini penting bagi saya ketika berada dalam masyarakat yang plural, dengan keberagaman yang ada kita diajar untuk berpikir dan bertindak kritis terhadap persoalan yang terjadi. Agama merupakan tempat manusia tinggal, hidup dan menghidupi kehidupannya hari lepas hari. Meskipun terkadang agama terasa hampa dalam hidup sebagian orang, karena telah kehilangan esensinya dalam hidup ini.  Hal ini terjadi ketika agama terjebak dalam dogma-dogma yang dibuat dan dihidupi dalam kehidupan hari lepas hari. Dogma-dogma tersebut menurut Russel menjadikan agama sebagai takhayul semata,[8] sehingga manusia berusaha menghindari persoalan agama yang bersifat mengikat dan membelenggu itu. Agama yang seharusnya bersifat membebaskan dan menjadi pembebas, malah sebaliknya menjadikan dirinya terikat dalam kurungannya sendiri. Ketika hal itu terjadi, banyak orang mengkritisi identitas dan eksistensi agama itu sendiri. Melihat ekspresi-ekspresi keagamaan di atas dalam berbagai sudut pandang agama, saya mengambil akar utamanya adalah ‘ketakutan’,  yakni ketakutan akan dosa, ketakutan akan ketidakbahagiaan, bahkan ketakutan tidak diselamatkan di kehidupan kelak. Hal ini menjadikan agama sebagai sumber pemberi rasa takut, yang ampuh dalam kehidupan manusia. Agama melegitimasi dirinya dengan membuat berbagai macam doktrin, yang terarah pada ketakutan umat manusia. Oleh karena itu, manusia harus takut terhadap Yang Mutlak itu, sehingga dapat diselamatkan. Padahal, rasa takut merupakan dasar dari segalanya, rasa takut akan kekalahan, bahkan rasa takut akan kematian. Russell menyatakan bahwa:
Rasa takut adalah induk dari kekejaman, karenanya tidak mengherankan jika kekejaman dan agama berjalan beriringan. Ini karena rasa takut menjadi dasar dari keduanya.[9]
Agama seringkali memakai rasa takut manusia untuk merubah keadaan, untuk membawa pengikut yang lebih banyak lagi, ini merupakan hal yang miris ketika diperhadapkan dalam dunia saat ini. Banyak manusia membutuhkan pengharapan dalam hidup, di tengah-tengah kesesakan dunia, yang begitu menghimpit, malah agama datang sebagai ‘serigala berbulu domba’. Saya tidak dalam posisi untuk menghakimi agama, tetapi dalam kenyataannya hal itu benar terjadi. Dalam konteks Indonesia, khsusunya setelah era orde baru, banyak gerakan-gerakan keagamaan baru muncul. Akibat dari stabilitas politik yang terganggu dan terjadi perubahan struktur politik yang begitu pesat, sehingga mengakibatkan perubahan sosial dan ekonomi yang menghimpit orang-orang untuk survive dalam keadaan ini. Bukannya memberikan solusi atau membawa angin segar terhadap permasalahan ini, agama malah menjadikan ini sebagai momen komodifikasi pelayanan publik, yang ujung-ujungnya duit. Pemahaman seperti ini harus ditransformasi, bukan saja dari pemimpin agama, tetapi dari penganut agama yang harus memiliki sikap kritis terhadap hal tersebut.
Keselamatan merupakan dambaan setiap manusia, yang tidak dapat dipungkiri membutuhkan hal itu untuk memberikan kenyamanan, ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan di masa akan datang oleh para penganutnya. Tanpa keselamatan, kehidupan terasa hampa, artinya kehidupan tidak berarti, karena banyak penganut agama mempunyai orientasi hanya untuk menerima keselamatan. Dengan demikian, penganut agama menitikberatkan pada tujuan akhir, bukan pada prosesnya. Jika terjadi hal itu, maka banyak orang berlomba-lomba menuju keselamatan, yang tidak pasti itu. Artinya, semua agama mempromosikan keselamatan menurut jalannya masing-masing, sehingga yang sering terjadi adalah kemutlakan terhadap kitab suci, yang mengakibatkan sikap eksklusivisme yang radikal terhadap sikap kehidupan beragamanya. Doktrin mengenai keselamatan membuat penganut agama ‘terhanyut’ dalam paradigma berpikir sesat, yang dimaksud sesat di sini adalah pemahaman yang keliru mengenai keselamatan, yang mencoba mencari kesalahan agama lain, sehingga masing-masing agama mempunyai misi yang ‘sesat’ juga, yakni untuk membawa dan memaksa orang lain mengikuti keyakinan agamanya. Ketika hal itu terjadi, maka fundamentalisme agama muncul, yang sangat berbahaya bagi kehidupan beragama, apalagi dalam suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia. Yewangoe menyatakan:
fundamentalisme menuntut komitmen orang atas kebenaran yang absolut, kalau perlu mempertaruhkan segala sesuatu.[10]
Bahaya sifat eksklusivisme dalam agama, yang membuat perpecahan di antara masyarakat. Dapat dilihat dari perpecahan pemahaman doktrin antar denominasi gereja, yang mengakibatkan banyak penganut agama kebingungan melihat situasi seperti itu. Pada akhirnya sifat eksklusivisme itu muncul, dan mengakibatkan sikap fundamentalisme dan mengarah pada sesuatu yang radikal. Sikap hidup keberagamaan di Indonesia bisa dianalisa menggunakan Tipologi tripolar Alan Race, yakni Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme.[11] Keberagamaan kita harus sampai pada sikap pluralisme dalam menghayati kehidupan beragama di Indonesia. Meskipun pemahaman mengenai keselamatan merupakan hak setiap agama, tetapi penganut agama harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, seperti kata Yewangoe, bahwa sekarang yang lebih penting adalah menempatkan “kebenaran” pada inti kehidupan, sedangkan agama Kristen bersama agama-agama lain beredar di sekitar kebenaran itu. Karena Tuhan lebih besar dibandingkan agama kita masing-masing[12]
            Saya tertarik terhadap sebuah model berteologi, Mojau, yang berupaya mendorong kesadaran hidup menggereja yang meninggikan relasi sosial yang manusiawi, di mana ia  melakukan sebuah sintesa dengan model teologi sosial pluralis-transformatif-rekonsiliatif.[13] Dengan menggunakan pendekatan tersebut, maka usaha berteologi di tengah masyarakat yang plural bukan merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan, karena adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dengan berbagai kepelbagaian yang ada.

KESIMPULAN DAN EVALUASI KRITIS
            Tulisan ini memiliki relevansi bagi usaha berteologi di Indonesia, khususnya bagi agama-agama yang terjebak dalam sifat fundamentalisme yang berlebihan, bahkan melupakan sesama dalam kehidupan sosial, karena hanya berurusan dengan Yang Mutlak itu sendiri. Dengan ini hal yang perlu dilakukan oleh gereja adalah usaha untuk berproses terus menerus, dan merespon setiap perkembangan zaman dengan kreatif dan kritis. Tidak hanya terkungkung dalam ghetonya saja, tetapi berani keluar dan melihat konteks yang ada, dan berteologi seperti pemikiran Steven Bevans dalam bukunya, model-model teologi kontekstual, yang di dalamnya terdapat model sintesis, yakni untuk menggabungkan beberapa pandangan tertentu dengan melihat konteksnya sehingga membentuk satu model teologi kontekstual yang hadir di tengah-tengah masyarakat.[14] Konteks berteologi tidak hanya berada dalam jemaat saja, tetapi di luar jemaat yang adalah konteks nyata dan hidup, di situlah gereja harus berani berteologi, tanpa embel-embel mengkristenkan orang lain. Tetapi, yang paling penting adalah usaha untuk memberi pemahaman yang baik kepada masyarakat, bahwa spiritualitas manusia bukan saja hubungan yang baik antara manusia dengan Yang Mutlak itu, yang bertujuan kepada keselamatan. Lebih daripada itu, keselamatan yang sesungguhnya harus terwujud dalam dunia ini, sama seperti pemahaman agama-agama primitif, yang memandang keselamatan sebagai bagian dari kehidupan kosmik. Untuk itu diperlukan kerjasama antar agama dalam berbagai bidang kehidupan, dengan menghilangkan prasangka maupun sikap negatif terhadap agama lain, karena kita berada di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan dan keadilan. Sehingga tidak ada mayoritas dan minoritas dalam hal ini, yang ada hanyalah ‘kita’ bersama hidup satu rumah di Indonesia, itulah misi sesungguhnya dari agama-agama, yakni hidup bersama.



Daftar Pustaka

Bevans, Stephen . Models of Contextual Theology. New York: Orbit Books, 2002.
D’Costa, Gavin. The Meeting of Religions and The Trinity. Maryknoll, New York: Orbis Books, 2000.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Hadiwijono, Harun .Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
Mojau, Julianus. Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia, 2012.
Russel, Bertrand. Bertuhan Tanpa Agama. Yogyakarta: Resist Book, 1999.
Yewangoe, A.A. Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. Jakarta: Gunung Mulia, 2002.



[1] Tinjauan Dhavamony terhadap masyarakat Rwanda di Afrika.
[2] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 297.
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 298.
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 29.
[5] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 71.
[6] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 313.
[7] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 315.
[8] Bertrand Russel, Bertuhan Tanpa Agama (Yogyakarta: Resist Book, 1999), 51.
[9] Bertrand Russel, Bertuhan Tanpa Agama (Yogyakarta: Resist Book, 1999), 99.
[10] A.A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 14.
[11] Gavin D’Costa, The Meeting of Religions and The Trinity (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2000), 20.
[12] A.A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 21.
[13] Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 380.
                [14] Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology (New York: Orbit Books, 2002), 194.

Comments

Popular posts from this blog

MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR