PENINDASAN KEPADA PEREMPUAN
Sumber Gambar:
Studi Feminis terhadap Pemerkosaan
di Afrika Selatan
Latar Belakang
Tidak
dapat disangkali bahwa Afrika Selatan merupakan Negara penderita HIV dan AIDS
terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 6,3 juta orang berdasarkan data
statistik tahun 2013[1].
Banyak faktor yang berkontribusi dalam penyebaran HIV di Negara ini, termasuk
kemiskinan, ketidakadilan sosial, tingkat tinggi penularan infeksi seksual,
status rendah perempuan, dan lain-lain. Saat ini penulis fokus kepada tema
besar, yakni pemerkosaan yang terjadi di Afrika Selatan dan dari data yang ada
menunjukkan bahwa Afrika Selatan merupakan Negara dengan tingkat kekerasan
seksual terhadap perempuan yang tertinggi di dunia dengan perkiraan 500.000
kasus perkosaan terjadi setiap tahun di Negara ini.[2]
Bisa dibayangkan jika diperhitungkan rata-rata hampir setiap menit terjadi
kekerasan seksual di Negara ini.
Kekerasan seksual merupakan segala bentuk perilaku yang berarah kepadah
hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang
yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negative bagi orang tersebut,
seperti merasa rendah diri, malu, bahkan bisa merasakan trauma mulai dari level
yang kecil hingga trauma tingkat tinggi yang bisa menyebabkan seseorang
mengalami Skizofrenia (gangguan
mental).
Dalam
hal ini di Negara Afrika Selatan merupakan suatu Negara yang sangat rentan
terhadap ketidakadilan dan kesetaran gender. Oleh karenanya semakin
meningkatnya tingkat pemerkosaan yang terjadi di Negara ini, dan rata-rata yang
menjadi korban ialah perempuan. Rentannya perempuan untuk menjadi suatu ‘obyek’
kepuasan kaum pria di Afrika Selatan merupakan suatu hal yang tidak bisa
dianggap sepele, ini bukan lagi sebuah masalah komunitas di Afrika Selatan
melainkan lebih daripada itu, penindasan yang terjadi di Negara ini merupakan
sesuatu yang perlu dikaji melalui teori feminis, dan ini adalah bagian dari
upaya berteologi feminis yang memang masuk akal, karena dimanapun terjadi
ketidakadilan dan penindasan (Fisik dan Psikis), maka Teologi Feminis merupakan
suatu yang harus menjadi acuan dalam berperang melawan ketidakadilan dan
penindasan tersebut. Dengan menjunjung tinggi nilai keadilan, kesetaraan dan
perdamaian, tetapi juga dari teologi feminis diperlukan untuk mengkritisi lebih
dalam mengenai sebab-akibat yang terjadi di setiap konteks yang ada.
Pertanyaan
Penelitian
·
Bagaimana penindasan terhadap
perempuan di Afrika Selatan terjadi, ditinjau dari Studi Feminis?
Pembahasan dan
Analisis
Ketika
melihat situasi dan kondisi yang mencekam di Afrika Selatan, saya menganalisis
dari pandangan teori feminis konruktivis oleh Judith Butler yang menyatakan
bahwa ‘Gender, seks dan perempuan bukanlah merupakan fakta natural melainkan
merupakan akibat dari dinamika permainan kebudayaan dan hasil kesepakatan. Dalam hal
ini gender merupakan sesuatu yang dibentuk oleh kebudayaan, bukan sesuatu yang
diberikan langsung dari sana (Alamiah).[3] Ini merupakan hal yang terjadi juga di Afrika
Selatan, bahwa budaya Patriarki yang sangat kental di sana membuat seseorang
membuat semena-mena terhadap perempuan dan melanggar norma-norma sosial yang
ada di sekitar mereka. Dengan arti lain budaya Patriarki yang sangat kuat di
negara tersebut memicu pemerkosaan besar-besaran yang terjadi di sana. Millet
mengatakan tentang Patriarki bahwa laki-laki dilukiskan sebagai makhluk yang
berada di dalam hubungan dominasi-subordinasi terhadap perempuan.[4]
Dengan pertama-tama melihat bahwa ini terjadi bukanlah sebuah penindasan
semata, tetapi dipengaruhi oleh sistem Patriarki yang telah lama dibangun di
Afrika Selatan yang menjadikan perempuan sebagai objek yang tidak bisa
melakukan apa-apa. Dalam pengertian yang lebih dalam, ditemukan bahwa perempuan
dijadikan sebagai sebuah tubuh yang hanya ‘memuaskan’ hasrat dari kaum
laki-laki di Afrika Selatan. Ini merupakan suatu bentuk penindasan yang masif
dan tidak bisa dibiarkan, karena ini bukan hanya menciptakan masyarakat yang
tidak adil, tetapi akan mempengaruhi seluruh sistem pemerintahan di negara
tersebut.
Upaya berteologi
feminis merupakan sesuatu yang sangat mungkin dan masuk akal, dan ini
diperlukan untuk menganalisis persoalan-persoalan seperti yang terjadi di
Afrika Selatan. Di tengah-tengah krisis maupun permasalahan yang terjadi di
Afrika Selatan, maka inilah tugas penting dari teologi feminis yang melihat
secara langsung persoalan hidup dan mati seseorang, persoalan ketidakadilan
maupun ketidaksetaraan yang besar-besaran terjadi di negara tersebut. Saya akan menganalisa ketidakadilan gender
yang terjadi di Afrika Selatan menggunakan Pandangan Iris Young mengenai
penindasan, yakni sebagai eksploitasi, penindasan sebagai marjinalisasi,
penindasan sebagai powerless/ketidakberdayaan, penindasan sebagai imperialisme
kebudayaan dan penindasan sebagai kekerasan. Penindasan sebagai suatu bentuk
eksploitasi yang terjadi di sini merupakan suatu bentuk penindasan yang terjadi
karena suatu sistem besar yang mempengaruhi ekonomi pasar, maka sistem
kapitalisme besar-besaran terjadi di Negara Afrika Selatan sehingga menyebabkan
eksploitasi terhadap tenaga kerja dan upah yang mereka dapatkan di lapangan,
ini merupakan indikasi awal terhadap penindasan yang besar di Afrika Selatan. Penindasan
sebagai Marjinalisasi, dalam hal ini mengacu pada tenaga kerja yang ada di
lapangan, banyak orang tidak mampu dan tidak mendapatkan lapangan pekerjaan,
karena diskriminasi sejarah (budaya patriarki) yang kuat di Afrika Selatan,
tingkat pendidikan yang kurang, orang dengan disabilitas, maupun karena faktor
kemiskinan yang menjadi-jadi sehingga menjadikan manusia sebagai budak dalam
penindasan yang terjadi.[5]
Wajah penindasan
yang berikutnya ialah penindasan sebagai bentuk ketidakberdayaan, dalam konteks
di Afrika Selatan ketidakberdayaan dari pihak yang ‘lemah’, yakni di dalam
konteks Afrika ialah perempuan dan anak-anak perempuan, karena ketika mereka
dijadikan sebagai suatu pihak yang lemah, maka kesewenang-wenangan terjadi
kepada mereka, dan merusak rasa solidaritas maupun nilai-nilai moral yang ada
di sana. Bentuk penindasan yang berikutnya adalah dominasi budaya, ini sudah
jelas terlihat pada orang Afrika, terkhusus bagi laki-laki yang merasa dirinya
lebih menguasai perempuan dalam segala bidang kehidupan, karena pekerjaan yang
mereka lakukan, kekuatan yang mereka miliki, menunjukan bahwa mereka adalah
kaum yang lebih kuat daripada kaum perempuan sehingga mereka merasa layak untuk
menindas kaum yang lemah, ini terjadi bukan langsung ke masyarakat lebih luas, melainkan di Afrika
Selatan penindasan dalam pernikahan merupakan awal mula penindasan
besar-besaran yang terjadi.[6] Penindasan
berikutnya ialah kekerasan, tidak bisa kita pungkiri bahwa kekerasan yang
terjadi di berbagai negara mempunyai konsekuensi masing-masing. Dalam makalah
ini saya ingin membahas kekerasan seksual kepada perempuan di Afrika Selatan,
yakni pemerkosaan karena ini
merupakan masalah serius yang sangatlah perlu diperhatikan, ketika belajar dan
memahami teologi feminis dan melihat ini di dalam konteks Afrika Selatan, maka
sangat diperlukan analisa sosial, analisa ekonomi, analisa politik, analisa
budaya, dll untuk mendukung dan menunjang lebih dalam analisis feminis yang
dilakukan. Meskipun akar permasalahan yang terjadi telah terlihat, yakni dari
budaya Patriarki yang terjadi di Afrika Selatan telah mengubah mindset (pola
pikir) masyarakat untuk mendominasi kaum perempuan sebagai kaum yang ‘lemah’.
Ketika melihat dari
masing-masing bentuk penindasan yang terjadi di Afrika Selatan tersebut, ini
merupakan bentuk penindasan yang tumpang tindih dengan yang lain, ada juga dari
bentuk penindasan di atas yang ‘tidak terlihat’, karena ditutup oleh sistem
yang begitu kuat dan rapi sehingga sulit untuk mengungkapkan analisa dalam hal
tersebut. Ini semua masuk di dalam bentuk penindasan yang terjadi di Afrika
Selatan ketika pemerkosaan dan kekerasan seksual yang terjadi di sana. Ini
bukan saja permasalahan pemerintahan secara umum, tetapi ini masuk di dalam
ranah feminis, yakni ketika penindasan terjadi terhadap kaum yang lemah dan
tidak berdaya, maka suara-suara masyarakat yang tertindas harus dibela, harus
dijunjung tinggi, meskipun ini sesuatu yang sulit, karena harus berhadapan
dengan suatu sistem yang begitu kuat tetapi jika kita bersama-sama melihat ini
menjadi suatu masalah bersama, bukan hanya menjadi masalah kaum yang tertindas
tetapi masalah bersama, baik perempuan maupun laki-laki.
Ini terjadi bukan saja melalui
kontraktivisme budaya yang membentuk sedemikian rupa, melainkan karena
imperialisme yang telah terjadi di negara ini dan menjadikannya orang yang
tertindas sebagai objek belaka yang dapat dikuasai,[7] tetapi
ketika melihat hal tersebut, sudah pasti kita dapat melihat bagaimana
penindasan dapat terjadi di Afrika Selatan dengan itu kita perlu membangun
suatu masyarakat yang ikut terlibat dalam aksi kolektif dan perubahan sosial,
hal seperti ini bisa dimulai dari lingkungan yang lebih kecil, yakni keluarga
kita dengan menciptakan keadilan dan kesetaraan gender, maka kita ikut membantu
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat kita.
Ketika meninjau dan
dihubungan dengan sudut pandang teologi feminis di dalam tradisi kekristenan,
ini merupakan hal yang menarik karena bentuk penindasan terjadi ketika bangsa
Israel hidup di dalam pembuangan sehingga mereka memerlukan sebuah teologi
pembebasan yang bisa membebaskan mereka dari belenggu-belenggu yang
menyengsarakan, dan menindas mereka. Kita tidak perlu menciptakan suatu
gambaran yang benar-benar baru di dalam upaya kita berteologi feminis, tetapi
kita perlu mengkontekstualisasikan pandangan-pandangan dan analisa kita terhadap
berbagai permasalahan yang terjadi, terkhususnya bagi setiap penindasan yang
menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Oleh karena, jika dunia
ingin berubah harus dimulai dari dihapuskannya segala bentuk penindasan mulai
dari sistem patriarki yang telah terkungkung di dalam budaya kita, sistem
pemerintahan yang menindas ‘gender’, sistem perekonomian, sistem politik,
sistem budaya maupun sistem pendidikan harus diperhatikan sehingga dengan
perubahan yang terjadi di berbagai bidang, maka kita tidak perlu menciptakan
gambaran baru dari teologi feminis, melainkan hanya dengan analisis feminis
dari setiap konteks yang berbeda dan dibutuhkan kepekaan yang lebih untuk
membangun teologi feminis di berbagai konteks di dunia ini.
Penutup
Dalam
upaya berteologi feminis kita harus melihat berbagai hal yang terjadi di
berbagai belahan dunia ini dengan ‘kecurigaan’, dalam pengertian kita harus
kritis terhadap setiap persoalan yang terjadi dan bukan hanya kritis, tetapi
mampu mengaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena inilah yang
menjadi tujuan dari teologi feminis, yakni bukan saja mengubah mindset seseorang, melainkan mengubah
pola hidup, dan tindakan seseorang ketika berhubungan dengan yang lainnya.
Dengan prinsip sesuai dalam Alkitab, yakni kita diciptakan sebagai Imago Dei, yakni sebagai manusia serupa
dan segambar dengan Allah sehingga dengan demikian tidak boleh ada yang
mendominasi dan didominasi, tidak boleh ada yang menindas dan ditindas.
Suara-suara perdamaian, keadilan, kesetaraan gender akan menimbulkan damai dan
sejahtera di muka bumi ini, meskipun terkadang ini hanya sebagai suatu ‘impian
belaka’, tetapi saya terus meyakini bahwa suatu saat nanti akan terjadi
perubahan yang masif, baik di dalam pola pikir maupun tindakan seseorang dan
ini membutuhkan proses yang panjang, terutama dalam budaya patriarki ini
dibutuhkan kerjasama dari kedua pihak, baik laki-laki maupun perempuan untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaran di masyarakat.
[1]http://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/southafrica.
Diunduh 7 Juli 2015.
[2]http://www.irinnews.org/report/84909/south-africa-one-in-four-men-rape.
Diunduh 7 Juli 2015.
[3] Serene Jones, Feminist Theory And Christian Theology: Guides To Theological Inquiry,
(USA:Fortress Press/Minneapolis, 2000), 1-5.
[5] Graham,Lucy Valerie. State of Peril: Race and Rape in South Africa,
Oxford University Press, USA, 2012, 14-16.
[6] Human Rights Watch/Africa, Women's Rights Project, Violence Against
Women in South Africa: The State Respone to Domestic Violence and Rape.
1995.
Comments
Post a Comment