RESENSI BUKU
Mojau, Julianus. Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan
Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012; 447 halaman.
Argumentasi utama
buku ini menunjukkan, bahwa kemajemukan agama dapat memberi suatu ruang dalam meniadakan
atau menolak yang lain di tengah-tengah konstelasi politik di Indonesia. Tetapi,
agama dapat menjadi alat dalam merangkul yang lain demi kepentingan bersama,
yang menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dalamnya. Tulisan Mojau
menjelaskan lebih dalam tentang relasi umat Kristen terhadap Islam Politik di
Indonesia yang mengalami kebuntuan dalam kurun waktu 1970-1990-an. Karena pergulatan
teologis protestan di Indonesia selalu berada dalam konteks historisnya
masing-masing. Setiap konteks historis menghasilkan sebuah pemahaman teologis
baru di dalam masyarakat. Argumentasi utama di atas didukung oleh beberapa
argumentasi pendukung, yakni dalam upaya menghayati identitas post-kolonial
umat Kristen di bawah rezim orde baru, maka Mojau mengidentifikasi
secara kritis dan mendalam dinamika
pemikiran teologi sosial Kristen dimulai dari tahun 1970-1990-an dalam perjumpaannya dengan Islam politik di
Indonesia.
Mojau
mengklasifikasi tiga model teologi sosial sebagai upaya untuk mengatasi
kebuntuan hubungan Islam-Kristen di bawah rezim Orde Baru. Model pertama, yakni
model modernisme yang sangat yakin, bahwa kebuntuan hubungan tersebut dapat
diselesaikan dengan cara berpartisipasi dalam rezim Orde Baru. Model kedua,
yakni model liberatif yang meyakini, bahwa untuk mengatasi permasalahan
hubungan agama-agama ini, maka model ini menekankan pendekatan terhadap kaum
marginal, tertindas, maupun kaum miskin sebagai korban pembangunan ideologis. Model
ketiga, yakni model pluralis yang menyatakan, bahwa dengan kesadaran teologis
yang lebih terbuka dan dialogis, maka dapat diatasi kebuntuan hubungan Islam dan Kristen dalam konteks Indonesia
ini. Ketiga model teologis tersebut mengacu pada pendekatan Avery Dulles dan
Hans Kung yang melihat pembedaan model yang akan membantu melihat tipe-tipe
dari setiap kategori, sama halnya dengan Mojau yang akan mengidentifikasi dan cara menafsirkan
tipe-tipe atau ciri khas pemikiran teologi sosial Kristen Protestan Indonesia
yang berkembang dalam kurun waktu 1970-1990-an. Ketiga model tersebut
menunjukkan suatu pendekatan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Melalui
setiap pendekatan teologis tersebut, Mojau melakukan analisa mendalam melalui
teolog-teolog Indonesia yang mengembangkan pemikiran mereka dalam konteks
sosial tertentu dan Mojau membaginya dalam tiga model tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kritik ideologi dalam
menganalisa perkembangan teks-teks teologis Kristen protestan saat itu. Metode
yang Mojau gunakan sangat tepat dalam menganalisa pergumulan teologis yang
berhadapan dengan rezim orde baru saat itu
Mojau
merupakan seorang teolog, sekaligus seorang pekerja gereja. Hal ini
mempengaruhi pemikiran Mojau di satu sisi sebagai seorang akademisi yang
bersikap kritis dengan realita sosial yang terjadi. Di sisi lain, sebagai
seorang pekerja gereja, ia dapat merefleksikan tulisannya dalam konteks hidup
menggereja. Tulisan ini tidak terlepas dari konteks sosial, budaya maupun agama
di mana Mojau berasal, yakni dari Halmahera Utara, Maluku Utara. Hal yang
tersirat ketika membayangkan konteks penulis adalah peristiwa konflik, baik
antar etnis maupun konflik antar agama
yang terjadi di Halmahera Utara, Maluku Utara. Konflik yang terjadi
antara agama Kristen dan Islam dalam rentan waktu yang cukup lama antara tahun
1999-2001. Hal itu menyebabkan korban jiwa yang tidak sedikit. Ketegangan agama
yang terjadi di Halmahera Utara merupakan akibat dari penyebaran kekristenan
yang begitu pesat di sana oleh para zending, dan berhadapan dengan Islam yang
juga memiliki pengaruh di Halmahera Utara yang mengklaim Kekristenan sebagai
agama kolonial. Mojau mengatakan bahwa ketegangan itu juga terjadi karena
begitu kuatnya stereotip sosial di
sebagian kalangan umat Islam terhadap Kekristenan tentang “identitas kolonial”
di bawah kekuasaan rezim Orde Baru.
Dalam usaha
melakukan dekonstruksi terhadap model teologi sosial yang bersifat tidak adil
terhadap hubungan antar manusia, khususnya antara Islam Politik yang diselimuti
oleh rezim Orde Baru dengan Kekristenan di Indonesia yang dicap sebagai agama
kolonial oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Tema teologis yang utama dalam
model teologi sosial modernisme adalah Injil Kerajaan Allah. Pendekatan
tersebut dihubungkan dengan modernisasi Indonesia dengan kesadaran identitas
ideologisnya sebagai suatu bangsa yang maju. Model ini sangat optimis melihat
secercah jawaban terhadap kebuntuan yang dialami oleh umat Kristen dengan umat
Islam Politik di Indonesia yang dibayangi oleh rezim Orde Baru. Suatu kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri, bahwa identitas kebangsaan Indonesia merupakan
identitas yang final, dan model
teologi sosial modernisme ini ingin adanya suatu transformasi terhadap dunia
ini melalui proyek pembangunan rezim Orde Baru yang didasari oleh Pancasila dan
UUD 1945. Pendekatan terhadap model teologi sosial modernisme ini memiliki
suatu kekuatan, yaitu memperkokoh rasa keindonesiaan setiap orang dan
menginginkan suatu perubahan yang mendasar terjadi secara total terhadap bangsa
ini melalui pembangunan yang dijalankan pada masa Orde Baru.
Di sisi lain,
model ini membuat Kekristenan menjadi sosok yang eksklusif. Mengapa demikian?
Karena Kekristenan menggunakan pendekatan terhadap modernisme sebagai suatu
perubahan yang mendasar, tanpa melihat adanya kejanggalan yang terjadi terhadap
pemerintahan Orde Baru, kurangnya sikap kritis yang realistis terhadap
permasalahan ‘akar rumput’ yang sesungguhnya. Kekristenan bukan saja menjadi
agama yang eksklusif, tetapi juga menjadi Kekristenan yang melenggangkan status quo dalam masyarakat. Hal ini
bukannya membuka jalan terhadap kebuntuan yang terjadi antara Kristen dan Islam
politik di Indonesia, melainkan semakin membuat tembok bagi dirinya sendiri.
Seperti kekhawatiran yang berlebihan terhadap Islam Politik maupun kekhawatiran
terhadap komunisme. Dengan hal tersebut Kekristenan melihat minoritas dalam
dirinya di tengah-tengah mayoritas sehingga terjebak dalam pemikiran-pemikiran
politis-pragmatis di dalamnya. Mojau mengatakan, bahwa model teologi sosial
modernisme ini mengandung potensi untuk memarginalisasi identitas yang lain,
seperti kaum miskin dan lemah, serta kehadiran Islam politik yang dianggap
sebagai suatu ancaman. Dalam situasi seperti itu, model teologi sosial
modernisme harus mengalami transformasi terlebih dahulu dari dirinya sendiri,
agar dapat merubah struktur sosial dalam masyarakat.
Model teologi sosial
liberatif mempunyai keprihatinan yang sama, yakni terhadap korban pembangunan
ideologis rezim Orde Baru. Melalui hal tersebut umat Kristen, bahkan kehidupan
menggereja harus fokus terhadap hal tersebut, dengan membangun solidaritas
terhadap korban yang tertindas. Dasar teologis model teologi sosial liberatif
ini, yakni
pada pengalaman nyata manusia yang menjadi korban pembangunan nasional.
Kekuatan dari model teologi sosial liberatif ini terlihat dari tujuan utama
kemanusiaannya, tanpa melihat suku, agama, golongan maupun gender seseorang.
Ini merupakan tujuan utama kehidupan
menggereja, yakni sebagai umat yang dipilih dan hadir di tengah-tengah
dunia ini membawa kabar sukacita kepada korban ketidakadilan, kemiskinan dan
penindasan. Gereja harus menjadi komunitas iman liberatif (Abineno, Widyatmadja
dan Marianne Katoppo) dan sekaligus liberatif rekonsiliatif (Ukur, Singgih dan
Yewangoe). Aksi nyata iman terwujud dalam tindakan konkret yang membawa
perubahan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu perubahan dari sikap eksklusif
kepada sikap inklusif (keterbukaan).
Ketika hal ini terwujud, maka kepercayaan oleh sekelompok golongan agama lain,
khususnya Islam Politik di Indonesia akan semakin mencair.
Meskipun
pendekatan ini lebih menekankan permasalahan sosial dan tidak melakukan
pendekatan terhadap agama lain, paling tidak ini merupakan suatu usaha yang
baik dalam mengatasi kebuntuan hubungan Kristen dengan Islam Politik di
Indonesia. Di satu sisi, pendekatan ini terkadang dianggap sebagai bentuk
kristenisasi dan ini menjadikan kalangan Islam Politik menjadi phobia terhadap
tindakan Kekristenan ini. Di sisi yang lain, gereja sebagai komunitas iman para
murid Yesus bersama dengan masyarakat Indonesia melawan segala bentuk hegemoni
yang merendahkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Melalui refleksi
kritis ini, Kekristenan dapat memperkokoh “identitas post-kolonialnya”. Masalah
kemanusiaan adalah masalah bersama, bukan hanya milik golongan tertentu dan
milik suatu kekuasaan yang mendominasi. Berbeda dari model yang pertama, model
modernisme yang tidak menyentuh permasalahan utama dari teologi sosial itu
sendiri, yakni pembebasan dan rekonsiliatif terhadap ketidakadilan yang
terjadi.
Model
teologi sosial pluralis berfokus pada sikap teologis sosial umat
Kristen yang lebih terbuka dan dialogis terhadap komunitas iman orang-orang
berkepercayaan lain, khususnya dengan umat Islam. Mojau berpendapat bahwa
perlunya sikap teologis sosial yang pluralis-liberatif. Dalam pengertian,
tujuan dialog antar tradisi religius bukan terfokus pada dirinya sendiri,
melainkan untuk kehidupan bersama. Ngelow dengan ide teologisnya mengenai “Gereja
yang tidak kelihatan” ingin lebih jauh mengembangkan model teologi sosial
liberatif, dan untuk menghindari salah paham yang dilontarkan oleh umat Islam
kepada gerakan kekristenan sebagai upaya kristenisasi. Kekuatan model ini
adalah bisa dengan baik membuka jalan kebuntuan hubungan Islam-Kristen di
Indonesia, termasuk juga golongan Islam politik di dalamnya. Sikap saling
menghargai perbedaan sesuai dengan tradisi iman dan simbol-simbol keberagamaan
untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai imago Dei.
Saya menganalisis bawha Mojau terlihat secara tidka langsung menggunakan analisa dari tipologi tripolar
Alan Race, yakni Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme.[1] Dalam diskursus tulisan
Mojau ini, tidak bisa lepas dari tipologi tripolar Alan Race. Model teologi
sosial modernisme (cenderung bersifat eksklusif), karena lebih menekankan hanya
pada aspek Kekristenan dalam pembangunan nasional Orde Baru, dan kurang
bersikap kritis terhadap ketidakadilan struktural yang terjadi di sekitar
masyarakat sehingga model ini mendukung status
quo dalam masyarakat. Model teologi sosial liberatif (bersifat inklusif),
karena dalam model ini sudah membuka diri terhadap persoalan-persoalan ‘akar
rumput’ atau kemanusiaan yang terjadi. Dengan kata lain, penghayatan akan iman,
terwujud dalam tindakan nyata melawan ketidakadilan, penindasan maupun
kemiskinan yang terjadi akibat pembangunan nasional Orde Baru. Model teologi
sosial pluralis (bersifat pluralis), karena menekankan pola hubungan interaksi
dengan budaya religius yang berbeda dari Kekristenan untuk mengatasi kebuntuan
yang terjadi antara Islam dengan Kristen di Indonesia.
Dengan membangun sebuah
model teologi sosial yang berupaya mendorong kesadaran hidup menggereja yang
meninggikan relasi sosial yang manusiawi, Mojau melakukan sebuah sintesa dengan model
teologi sosial pluralis-transformatif-rekonsiliatif.
Hal ini terlihat jelas, bahwa dengan menggunakan perspektif Steven Bevans dalam bukunya, model-model
teologi kontekstual dan di dalamnya terdapat model sintesis, yakni untuk
menggabungkan beberapa pandangan tertentu dengan melihat konteksnya sehingga
membentuk satu model teologi kontekstual yang hadir di tengah-tengah
masyarakat.[2]
Kemudian Mojau mengajukan dinamika metodis dalam teologi sosial model pluralis-transformatif-rekonsiliatif,
tahap-tahapnya sebagai berikut: a) tahap penjajakan masalah, b) tahap analisis
sosial, c) tahap refleksi teologi sosial pluralis-transformatif-rekonsiliatif,
d) tahap perwujudan iman atau praksis iman. Langkah-langkah yang diajukan Mojau
merupakan sebuah proses lingkaran hermeneutik yang berlangsung terus-menerus.
Ini merupakan suatu pendekatan utama dari Gadamer mengenai “The hermeneutical circle”, sama halnya
dengan metode pendekatan yang digunakan oleh Mojau dengan cara kecurigaan-hermeneutis
mengambil pemikiran dan pendekatan dari Gadamer mengenai prasangka hermeneutik.[3]
Hal di atas menunjukkan suatu proses berteologi yang
begitu mendalam dari Mojau, sehingga kemajemukan yang terjadi di Indonesia pada
akhirnya memberi suatu harmoni yang indah di tengah-tengah masyarakat, yakni
dengan “Merangkul”
hal-hal yang bersifat baik dengan tujuan untuk mengembangkan proses berteologi
sosial yang pluralis, transformatif dan rekonsiliatif di Indonesia. Hal ini nyata
dalam pengalaman Mojau yang menyaksikan sikap umat Kristen terhadap umat Islam
pasca Konflik di Halmahera, yakni adanya suatu sikap rekonsiliatif terhadap
persoalan tersebut. Mojau berpendapat, bahwa ini merupakan suatu keharusan
teologis dalam praksis kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan umat
Islam. Keberanian dalam membangun hubungan sosial rekonsiliatif dengan umat
Islam, dapat membuka jalan kebuntuan yang selama ini Kekristenan dicap dengan
“identitas kolonialnya”, hal ini yang
harus menjadi fokus utama bagi gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia pasca
Orde Baru untuk menciptakan hubungan sosial yang rekonsiliatif.[4] Dengan sintesa Mojau ini, maka ia mendorong
kesadaran hidup menggereja yang pluralis, transformatif, dan rekonsiliatif dari
gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia dalam hubungannya dengan Islam di
Indonesia.
Buku
ini memberi sumbangsih penting bagi perkembangan pemikiran Kekristenan di
Indonesia, terkhusus dalam relasinya dengan umat Muslim di Indonesia. Meskipun
usaha ini masih dalam bentuk abstraksi yang belum nyata dalam kehidupan
bermasyarakat, tetapi ini suatu jalan yang baik dalam melakukan pendekatan
terhadap pergulatan identitas umat Kristen “post-kolonial” di Indonesia. Hal yang penting juga adalah ketika buku ini medekonstruksi
ulang pemahaman teologi sosial di Indonesia, sehingga pandangan kita tentang
perkembangan teologis di Indonesia menjadi lebih memadai dan mumpuni, yang
dilihat dari perkembangan sejarah Indonesia dalam konteksnya. Adapun masukan terhadap buku ini, yakni pentingnya menggunakan
pendekatan sosiologis dalam menganalisis situasi problematis yang terjadi
antara Kekristenan dengan umat Islam Politik di Indonesia. Tidak hanya
menggunakan pendekatan teologis saja, tetapi diseimbangkan dengan pendekatan
sosiologis yang bisa melihat dari stuktur sosial, sistem kebudayaan tertentu,
bahkan perubahan sosial dan pembangunan yang terjadi. Dengan demikian studi
sosiologi agama dapat lebih komperhensif mendeskripsikan pergulatan sosial
maupun teologis yang terjadi pada masa Orde Baru, terkhusus hubungan
Islam-Kristen di Indonesia.
[4] Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam
Politik Di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 400.
Comments
Post a Comment