Kekristenan dan Kebijakan Publik di Indonesia


Latar Belakang

             Perdebatan mengenai agama merupakan topik yang selalu menarik diperbincangkan di setiap lini kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Agama seringkali menjadi tolak ukur dalam menentukan kebijakan publik yang akan dilakukan. Baik  melalui nilai-nilainya atau dari tradisi yang diturunkan oleh agama tersebut. Hal yang menarik adalah ketika pertemuan antara agama dengan budaya di Indonesia, yang menjadikan masyarakat Indonesia melegitimasi identitas keagamaannya lebih dari apapun. Durkheim menyatakan bahwa agama merupakan suatu sistem kepercayaan dengan perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan  dengan Yang Sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang.[1] Dalam pandangannya mengenai agama, Durkheim melihat ada suatu fenomena menarik antara agama dan masyarakat. Ia melihat bahwa agama sebagai suatu hasil refleksi dari masyarakat, akibat dari kohesi sosial masyarakat yang di dalamnya terwujud Yang Sakral, dengan berbagai ritual-ritual kolektif yang dilakukan oleh masyarakat di situlah wujud agama hadir.[2]
Dalam masyarakat Indonesia agama sebagai suatu eksistensi yang memiliki esensi mendalam dalam setiap kehidupan bermasyarakat. Agama seringkali menjadi sumber legitimasi perpolitikan, bahkan sumber pemicu konflik sosial dalam tatanan yang lebih luas. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena dalam agama secara langsung maupun tidak mengajarkan pengikutnya menjadi fundamentalis. Dalam pengertian bahwa ia memahami kitab sucinya secara harafiah dan menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan kitab sucinya, mengakibatkan fanatisme berlebihan terhadap kitab sucinya,[3] tidak pelak hal ini menjadi penghambat dalam kemajuan di berbagai lini kehidupan sosial. Titaley menyoroti hal ini dengan melihat bahwa eksklusivisme agama merupakan masalah yang harus diatasi oleh manusia, jika manusia ingin berdamai dengan sesama lainnya.[4]
            Distribusi kekuasaan, konflik antar agama, konflik kepentingan dalam pemerintahan maupun budaya korupsi tak terelakkan menjadi satu ikatan yang kuat dan stabil dalam masyarakat Indonesia. Adanya suatu pengikat yang membuat rantai ini terus ada, bahkan melalui penelusuran berbagai media yang terus mencari faktor penyebab hal ini, tetap saja tidak ditemukan. Apakah sistemnya ataukah orang-orang yang masuk dalam sistem tersebut, yang menjadikan masyarakat Indonesia menderita. Jika sudah terjadi demikian, dimana peran agama menyikapi hal ini? Bagaimana agama masuk dan memberi kontribusi positif dalam kebijakan publik, yang pemerintah lakukan. Agama yang adalah perekat sosial, sekarang menjadi tunggangan politik yang empuk untuk mencapai tujuan-tujuan oknum tertentu saja. Bahkan, ada banyak agama yang hanya memikirkan dirinya sendiri dengan Yang Sakral itu, tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya, dan memiliki sikap kritis terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik menurut Di Nitto dan Dye adalah apapun yang pemerintah lakukan maupun tidak lakukan, yang berdampak dalam kehidupan bermasyarakat.[5] Kebijakan publik berimbas terhadap pelayanan publik, yang dilakukan oleh pemerintah, Sinambela mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut:
“Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”[6]           
Karena dalam pembuatan kebijakan publik, hal yang penting diketahui adalah apakah itu menyangkut permasalahan publik yang relevan untuk ditindaklanjuti,[7] atau malah sebaliknya membuat kebijakan publik hanya demi mengikuti tren yang ada. Dari sudut pandang ini, maka agama sebagai lembaga sosial di sisi lain, harus mampu peka terhadap keadaan sehingga tidak bersikap naif dengan perubahan dan tantangan zaman yang terjadi.


Kekristenan dan Kebijakan Publik
            Persoalan agama-agama di Indonesia sering terhenti pada tataran mayoritas dan minoritas. Khususnya bagi umat Kristiani, yang selalu merasa minder terhadap jumlah pengikutnya, sehingga merasa sulit untuk membawa perubahan. Menjadi kaum minoritas dalam situasi demikian bisa menjadi alasan terhadap sulitnya transformasi sosial dilakukan. Mojau mengutip pandangan Notohamidjojo mengenai gagasan minoritas kreatif, yang menyatakan bahwa gagasan tersebut mengisyaratkan peran politis umat Kristen Indonesia sebagai komunitas minoritas di Indonesia.[8] Dari gagasan tersebut, gereja disadarkan untuk bersikap kritis terhadap keadaan dan mampu menjadi agen pengubah, tanpa peduli jumlah minoritas yang berada dalam dirinya. Hal ini mudah dikatakan dalam teorinya, tetapi dalam praksisnya sangat sulit dilakukan. Ketika berhadapan dengan situasi demikian, terkadang menjadi minoritas mempunyai ketakutan-ketakutan tersendiri dalam membawa perubahan di masyarakat. Sebaliknya, kaum mayoritas (Umat Islam) merasa bahwa kaum minoritas mencoba untuk melakukan proses kristenisasi dengan pelayanan yang mereka lakukan. Dengan demikian, yang timbul adalah prasangka-prasangka di antara komunitas beragama. Senada dengan pandangan Yewangoe, bahwa ketika kita hanya fokus pada kehidupan agama yang bersifat formalistis dan legalistis saja, kita akan terjerumus dalam kekakuan, yang akan tenggelam dalam pertentangan-pertentangan.[9] Oleh karena itu diperlukan transformasi dari agama-agama itu sendiri, agar dapat bekerjasama melihat persoalan kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya. Titaley melihat sejak awal nilai-nilai kemanusiaan berupa kesetaraan sudah ada di bangsa Indonesia, melalaui pemahaman terhadap Yang Maha Kuasa, Yang Mutlak secara Indonesia. Jika saja Kekristenan di Indonesia mampu memahami dan mengembangkan teologi mereka seperti yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945, maka kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan terjadi seperti ini.[10] Segala sesuatu yang menindas dan diskriminatif terus terjadi di negara Indonesia. Karena perasaan nasionalisme dan semangat itu teredam dalam sikap fanatisme berlebihan oleh kalangan umat beragama. Ketika hal itu terjadi, maka sulit untuk mentransformasi keadaan yang terjadi di sekitar, karena sibuk dengan urusan masing-masing, maka ketidakadilan menjadi hal yang lumrah di kalangan kehidupan beragama.
 Hal menarik, yang terjadi di Afrika Selatan ketika persoalan kemiskinan menjadi persoalan gereja untuk berkontribusi dalam membangun suatu perubahan yang lebih baik dalam masyarakat. Masyarakat pedesaan di Afrika Selatan mengalami penindasan aparteid, ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi. Kemudian gereja mengambil alih fungsi pemerintah dalam perannya membangun keadilan di Afrika Selatan. Gereja di sana melakukan negosiasi kebijakan publik dengan cara memahami  dan mengkritisi proses perpolitikan, ekonomi dan pendidikan yang dilaksanakan saat itu.[11] Hal itu dapat menjadi evaluasi kritis bagi gereja, karena di situlah peran gereja sesungguhnya, yakni menyuarakan suara kenabian terhadap isu-isu kemanusiaan. Salah satu isu yang marak didiskusikan adalah Isu pendidikan, yang merupakan isu kemanusiaan, karena menyangkut harkat dan martabat manusia. Manusia membutuhkan pendidikan agar tidak ‘dibodohi’ dengan sistem yang ada, meskipun seringkali orang yang berpendidikan memanipulasi sistem demi kepentingannya. Salah satu tujuan pendidikan adalah mengembangkan kesadaran kritis manusia, Smith berpendapat bahwa kesadaran kritis muncul ketika terjadinya perubahan sistem yang tidak adil, sehingga berusaha untuk merubah sistem tersebut menjadi adil dan tidak menindas.[12] Inilah cita-cita dan harapan kekristenan di masa kini, yang selalu mendambakan kehidupan oikumenis dan melawan ketidakadilan yang terjadi. Harapan itu haruslah menjadi nyata dan bukan hanya sebagai fantasi atau sebagai alat legitimasi bentuk pelayanan dari gereja, yang nampak di kulitnya saja tetapi kering dalamnya.

Model Eklesiologi dalam Pelayanan Gereja Masa Kini
Gereja sebagai persekutuan murid merupakan refleksi yang tepat bagi permasalahan di atas, Avery Dulles menyatakan bahwa gereja harus meneruskan bentuk-bentuk misi yang dilakukan oleh Yesus kepada pengikut-pengikut-Nya.[13] Gereja harus mengemban misi sebagai persekutuan murid, yang melihat keberadaan sang liyan dalam kehidupan ini. Dengan memahami konteks, dan selalu mengkritisi konteks tersebut dalam bingkai berteologi sosial. Berbicara mengenai Kekristenan dengan segala macam problematika yang terjadi, saya merasakan dan sekaligus terpukul dengan keadaan yang ada. Melihat gereja yang seharusnya menyuarakan suara kenabian dengan lantang, tetapi diredam oleh suara-suara penguasa yang bertujuan untuk kepentingan kelompoknya. Bahkan, ironisnya suara-suara keadilan diredam oleh jemaat-jemaat lokal yang hanya fokus pada kepentingannya sendiri, demi menunjukkan bahwa jemaat mereka bertumbuh, tetapi di dalamnya kering tanpa makna. Pelayanan gereja seharusnya membawa kabar baik dan damai sejahtera, tetapi digerogoti oleh sikap naif, tidak kritis dengan keadaan yang ada, sifat hedonis, dan bahkan haus kekuasaan, yang membuat gereja jalan di tempat. Disfungsi gereja dalam membantu pembangunan, termasuk di bidang politik melalui proses penyadaran warga jemaatnya  tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara[14]  untuk membantu mengembangkan struktur pembangunan yang lebih manusiawi, menuju keadilan dan kesejahteraan. Konsep keadilan yang harus dikembangkan oleh gereja adalah yang bersifat membebaskan dan kesetaraan. Tanpa itu, gereja hanya berada dalam tataran dogmatis, dan hanya memberi solusi yang tidak membumi atau mendarat di tengah kehidupan bermasyarakat.
            Gereja harus menjadi pelopor perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, dalam hal ini saya mengambil contoh dalam bidang pendidikan, yakni Universitas Kristen Satya Wacana yang didukung oleh 18 Sinode Gereja pendukung sehingga mampu bersaing secara kreatif dan positif di tengah-tengah masyarakat. Dengan berbagai dinamikanya, UKSW menjadi suatu role model terhadap perubahan demi perubahan yang ia lakukan, baik terhadap aras lokal, nasional bahkan internasional. Dari hal tersebut suara kenabian gereja dapat tersalurkan melalui lembaga pendidikan, yakni dengan terus menjadi garam dan terang di tengah-tengah masyarakat.  Gereja tidak boleh minder karena menjadi komunitas minoritas di tengah masyarakat, melainkan harus membawa rasa (garam) dan terang dalam masyarakat, sehingga mampu melakukan transformasi baik dimulai dari dalam (internal), sampai ke luar (eksternal). Hal itu menunjukkan kepada masyarakat, bahwa gereja tidak hanya bersifat vertikal (kepada Tuhan) saja, tetapi selalu bersinggungan dengan masyarakat (horisontal).
Tetapi, terkadang gereja menganggap dirinya telah sukses melakukan pelayanan kepada jemaat dengan melakukan program diakonia rutin terhadap orang-orang miskin dan tidak berdaya. Dengan demikian, secara tidak langsung gereja menganggap bahwa kemiskinan merupakan sesuatu kenyataan yang harus diterima dalam kehidupan dan tidak bisa diubah, karena gereja memberi ketergantungan penuh kepada jemaat yang membutuhkan, tanpa memberdayakan mereka. Gereja hanya memberi ikan terus dan tidak mau memberi pancing kepada jemaat yang membutuhkan, karena pemahaman pelayanan gereja yang konservatif, dan lebih mengutamakan pelayanan yang sifatnya ‘ingin dilihat orang banyak.’ Taylor mengatakan bahwa gereja seringkali menjadikan orang miskin sebagai objek karya amal kristianitas dan dieksploitasi demi kepentingan pelayanan.[15] Bukan lagi ketulusan yang ditekankan dalam pelayanan, melainkan nilai-nilai tinggi hati yang menjadi faktor utama dalam pelayanan gereja di masa kini. Oleh sebab itu, kata kunci di sini adalah solidaritas, karena solidaritas menjadi bentuk keberpihakan kepada yang lemah, tertindas dan tidak berdaya dalam kehidupan ini. Hal ini membuat ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat, perlahan-lahan menjadi seimbang.[16] Gereja harus terlibat dalam bentuk keberpihakan kreatif ini, dan perlu menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran bahkan materi terhadap keberpihakan ini. Karena itulah tugas dan panggilan gereja sesungguhnya di tengah-tengah dunia ini.

Penutup
Dalam hal perpolitikkan, Kekristenan harus berada pada posisi moderat, bukan seperti pohon bambu yang tinggi mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang terjadi. Di satu sisi gereja hadir sebagai bagian dari masyarakat, yang memperkuat kohesi sosial. Di sisi lain, gereja hadir sebagai hamba yang melayani siapa saja yang membutuhkan, dan berani bersikap kritis-realistis terhadap keadaan yang ada. Teori kontrak sosial yang dikembangkan Rouseeau patut diterapkan dalam konteks ini, bahwa dalam suatu pemerintahan atau negara diperlukan suatu kontrak sosial terhadap warga negaranya, agar tidak terjadi penindasan atau adanya penguasa dan yang dikuasai.[17] Kontrak sosial tersebut terjadi, karena adanya kehendak umum yang disepakati bersama, baik mengenai hak-hak bersama dan keadilan yang didapatkan melalui kesepakatan tersebut. Dalam hal ini Kekristenan harus berani untuk melakukan kontrak sosial dengan pemerintah setempat, bukan mengenai kontrak lobi-lobi politik, melainkan berfokus pada pengambilan kebijakan publik yang disepakati bersama, tanpa adanya diskriminasi dan penindasan di dalamnya. Hal ini dapat ditempuh melalui rekayasa sosial, yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga gereja. Rekayasa di sini bukan bertujuan negatif, tetapi bertujuan positif untuk membangun kehidupan bermasyarakat lebih baik lagi.
Terhadap permasalahan hidup keagamaan, maka gereja tidak boleh terjebak dalam upaya-upaya rekayasa dangkal, yang akan merugikan hubungan kerukunan dan integritas agama, dan akan memperlemah kesatuan umat manusia.[18] Titaley memberi solusi terhadap persoalan tersebut, yakni dengan memiliki imajinasi sosial yang baru, yang berbudaya Indonesia sehingga akan menjadikan Indonesia menjadi Indonesia yang sesungguhnya, hal itu dapat dilihat dalam Pancasila sebagai fenomen baru bersama.[19] Dengan hal itu maka kehidupan beragama haruslah dilihat dalam perspektif kebudayaan Indonesia, yang memberi transformasi dalam berbagai bidang kehidupan, yakni dengan sadar bahwa hidup di Indonesia dengan keberagamaan yang ada. Komunitas Kekristenan dengan agama-agama lain harus bersama menyadari bahwa keterbukaan dan sikap menghargai merupakan hal yang penting dalam hidup bersama. Tanpa itu, kehidupan beragama dipenuhi oleh ketakutan-ketakutan (phobia) terhadap yang lain, dan menyebabkan konflik batin, yang berujung kepada penghakiman dan kekerasan antar agama.















Daftar Pustaka
Barr, James. Fundamentalisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
DiNitto, Diana M.,  and  Dye, Thomas R. Social Welfare: Politics and Puiblic Policy. New Jersey: Simon & Schuster, 1987.
Dulles, Avery. Model-Model Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Mojau, Julianus. Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia, 2012.
Moran, Michael., Rein, Martin., dan Goodin, Robert E. “The Public and its Policies.” Dalam The Oxford Handbook of Public Policy. New York: Oxford University Press, 2006.
Pals, Daniel L.  Seven Theories ofReligion. Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.
Rousseau, Jean-Jacques. On the Social Contract. New York: Dover Publications, 2003.
Sinambela, Lijan P. “Pelayanan Publik dalam Teoretik.” Dalam Reformasi Pelayanan Publik, peny. Lijak P. Sinambela. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Smith, William A. Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Taylor, Michael. Dilarang Melarat Narasi Teologis Tentang Kemiskinan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Titaley, John A.  Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013.
Ukur, Fridolin. “Gereja-Gereja di Indonesia Menyongsong Tahun 2000.” Dalam Konteks Berteologi di Indonesia, peny. Eka Darmaputera. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Yewangoe, A.A.  Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. Jakarta: Gunung Mulia, 2002.

Artikel

Thesnaar, Christo. Rural education: Reimagining the role of the church in transforming poverty in South Africa. AOSIS Open Journals, 2014. http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=cc575e5d-387b-468f-9a58-a185965da6f1%40sessionmgr4004&vid=0&hid=4206. Diakses 10 April 2016, EbscoHost Online Research Databases.




[1] Daniel L. Pals, Seven Theories ofReligion (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 145.
[2] Pals, Seven Theories of,,,. 139.
[3] James Barr, Fundamentalisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 2.
[4] John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 1.
[5]  Diana M. DiNitto and Thomas R. Dye, Social Welfare: Politics and Puiblic Policy (New Jersey: Simon & Schuster, 1987), 2.
[6]  Lijan P. Sinambela. “Pelayanan Publik dalam Teoretik,” dalam Reformasi Pelayanan Publik, peny. Lijak P. Sinambela (Jakarta: Bumi Aksara. 2008), 5.
[7] Michael Moran, Martin Rein dan Robert E. Goodin. “The Public and its Policies,” dalam The Oxford Handbook of Public Policy, (New York: Oxford University Press, 2006), 5.
[8]  Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 41.
[9] A.A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 11.
[10] John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 74-75.
[11]  Christo Thesnaar, Rural education: Reimagining the role of the church in transforming poverty in South Africa  (AOSIS Open Journals, 2014), 6. http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=cc575e5d-387b-468f-9a58-a185965da6f1%40sessionmgr4004&vid=0&hid=4206. Diakses 10 April 2016, EbscoHost Online Research Databases.
[12]  William A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 80.
[13]  Avery Dulles, Model-Model Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 199.
[14]  Fridolin Ukur. “Gereja-Gereja di Indonesia Menyongsong Tahun 2000,” dalam Konteks Berteologi di Indonesia, peny. Eka Darmaputera (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 369.
[15]  Michael Taylor, Dilarang Melarat Narasi Teologis Tentang Kemiskinan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 126.
[16]  Taylor, Dilarang Melarat Narasi Teologis Tentang Kemiskinan.., 214.
[17]  Jean-Jacques Rousseau, On the Social Contract (New York: Dover Publications, 2003), 13.
[18]  A.A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 25.
[19]  John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 165.

Comments

Popular posts from this blog

MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR

Resensi Buku Fenomenologi Agama