Perbandingan pandangan pemikiran tentang Agama dari Jurnal Waskita
1. Pemahaman dan Pemaknaan Pancasila Sebagai Agama Sipil Indonesia dalam Pelaksanaan Misi Agama-agama. (I Made Priana)
2. RELIGIUSITAS
BANGSA SEBAGAI HASIL PENALARAN PUBLIK AGAMA-AGAMA DI INDONESIA (Diteropong dari
Perspektif Filsafat Politik Jurgen Habermas). (Gusti A.B. Menoh)
3. MENEMUKAN
TUHAN DI TAPAL BATAS (Suatu Upaya Berteologi di Konteks Masyarakat Urban). (Mariska Lauterboom).
Dimulai
dari pandangan Priana tentang pandangannya bahwa harus adanya suatu titik tolak
dari masyarakat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yaitu
pemahaman dan pemaknaan pancasila sebagai agama sipil di Indonesia dalam
pelaksanaan misi agama-agama. Tulisan
dari Priana fokus untuk melihat pertama-pertama misi dari agama-agama di
Indonesia yang hanya berorientasi pada institusi maupun perkembangan
masing-masing agama, dan melupakan misi yang utama, yakni kepentingan utama
masyarakat Indonesia atau permasalahan sosial kemasyarakatan yang jarang
disentuh oleh agama sebagai bagian dari misinya.
Jika disentuh, itupun bagian
dari misi agama-agama tersebut untuk memperbanyak pengikut. Hal tersebut
dikarenakan agama-agama di Indonesia melihat bahwa adanya pemutlakan
masing-masing agama akan hal-hal yang transcendental sehingga menjadi misi
setiap agama (institusi), tetapi hal ini tidak selaras dengan ideologi
masyarakat yang adil dan bersama sehingga tidak adanya persatuan Indonesia,
karena satu dengan yang lain membuat ‘kotak-kotak’ pembedaan dan bahkan
memaksakan ideologinya untuk dianut oleh orang lain. Dengan ini dibutuhkan
suatu landasan yang kuat tentang Pancasila sebagai harga mati untuk setiap
warga negara, karena misi setiap agama
harus berpayung pada Pancasila untuk mengaktualisasikan perdamaian dan
kemanusiaan. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai Pancasila tidak boleh terpisah
satu dengan yang lainnya, karena akan menghasilkan kekacauan dalam masyarakat.
Jika
Priana memandang bahwa Pancasila tepat dijadikan sebagai agama sipil di
Indonesia, maka Menoh dalam tulisannya
mengkaji tentang religisiutas bangsa sebaga hasil penalaran publik agama-agama
di Indonesia (Diteropong dari Perspektif Filsafat Politik Jurgen Habermas). Menoh melihat bahwa sebenarnya praxis politik
yang rasional dari para pendiri bangsa itu mendapat dasar normatifnya dalam
teori demokrasi deliberative Habermas. Dalam arti ini demokrasi liberatif,
yakni adanya musyawarah yang penuh keterbukaan, timbang-menimbang, debat yang
jujur, diskusi yang rasional, telah menjadi praktik para pendiri bangsa
Indonesia dalam merumuskan norma hidup bersama, terutama dalam pluralitas
keagamaan, bahkan mampu menghasilkan suatu religiusitas bangsa. Dengan
pemahaman ini, maka semakin memperkuat penjelasan dan argument dari Priana
bahwa sangat tepat Pancasila digunakan sebagai agama sipil di Indonesia. Hal
ini jelas karena setiap butir dalam Pancasila mengandung arti yang mendalam
dalam hidup di konteks Indonesia. Menoh mengatakan bahwa seharusnya dengan
dasar demokrasi liberatif yang telah tertanam kepada para pendiri bangsa ini,
maka sudah sepatutnya kita menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tanpa
mendiskriminasi kepada yang lemah (minoritas), bahkan setiap orang dapat
menyampaikan pendapatnya, tanpa adanya dominasi dari kaum yang kuat
(mayoritas). Disinilah diskursus dalam ruang publik ditegakkan, di
tengah-tengah perjumpaan agama di ruang public. Bukan menjadikan agama sebagai
bagian dari negara, dan juga tidak menjadikannya terpisah secara tajam,
melainkan harus selalu adanya diskursus dari negara kepada kaum rohaniawan
untuk membangun negara ini dengan lebih baik. Tanpa adanya hal tersebut,
niscaya sulit adanya demokrasi yang bertujuan untuk memanusiakan manusia,
bahkan pasti di dalamnya ada penindasan yang kelihatan maupun tidak kelihatan.
Selanjutnya,
hal yang lebih spesifik ditinjau dari pandangan Lauterboom tentang tulisannya
Menemukan Tuhan di Tapal Batas, yakni suatu Upaya Berteologi di Konteks
Masyarakat Urban. Singkatnya, pandangan Lauterboom ingin menghasilkan suatu
cara berteologi dalam konteks masyarakat urban, di mana dalam masyarakat
tersebut selalu diidentikkan dengan individualitas sehingga terjadi batas-batas
dalam kehidupan mereka. Ketika hal itu terjadi, maka kegiatan keagamaan hanya dijadikan rutinitas belaka, dan berjumpa
dengan orang lain hanya sekedar basa-basi. Lauterboom menyampaikan bahwa cara
berteologi terhadap masyarakat urban harusnya menjadi tempat bertemu setiap
orang untuk berdisksusi secara terbuka, tanpa adanya prasangka, dan saling
mengenal satu dengan yang lain. Untuk membangun relasi dengan yang lain, harus
adanya rasa saling menerima bahkan keluar dari batas-batas kita untuk
menjangkau yang lain dalam mengkontekstualisasikan teologi di Indonesia.
Comments
Post a Comment