Gerakan-Gerakan Keagamaan Baru Dalam Perspektif Teologi Kristen By John Saliba


Tulisan John Saliba ini begitu komperhensif mengenai kultus atau gerakan keagamaan. Isu-isu yang diangkat oleh penulis begitu aktual dan dapat dipahami lebih mendalam, melalui  analisisnya yang begitu terarah kepada gerakan keagamaan dan problematikanya. Dalam bagian ini, John Saliba menyatakan dengan tegas, bahwa kultus atau gerakan keagamaan baru menawarkan sebuah sistem kepercayaan dan praktek kepercayaan yang sangat perlu diperhatikan dalam terang wahyu Kristen. Dalam arti, membandingkan antara agama yang sudah mapan dengan gerakan keagamaan yang baru. Ada beberapa isu yang diangkat tentang gerakan keagamaan baru ini.[1] Pertama, isu yang menganggap bahwa kepercayaan atau sifat religious pada dasarnya merupakan gerakan keagamaan. Dalam pengertian lebih lanjut, apakah mereka disebut sebagai sungguh-sungguh nyata/ sebuah entitas agama?. Isu kedua, Hubungan Kekristenan terhadap gerakan keagaman baru. Dalam ulasan lebih lanjut, timbul suatu pertanyaan. Bagaimana mengajarkan dan mempraktekkan gerakan keagamaan baru  yang berbeda dengan kekristenan dan apakah mampu mereka (baca: gerakan keagamaan baru) harmonis dengan doktrin kekristenan dan moralitas?. Isu ketiga dalam bagian ini menyangkut berbagai jenis reaksi-reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru.
Dengan kata lain, bagaimana respon pengikut Kristen kepada gerakan keagamaan baru. Muncullah implikasi dari isu ketiga ini, khususnya mengenai masalah pastoral (pendampingan/penggembalaan) terhadap jemaat. Saliba memberi pertanyaan kritis, apa yang pastor atau pendeta katakan dan lakukan untuk menolong orang tua yang begitu khawatir  dari anggota gerakan keagamaan baru dan meminta tolong kepada mereka?. Kemudian, apakah ada pendidikan yang berarti terhadap pemuda untuk dasar iman  mereka, agar mereka tidak masuk dalam gerakan keagamaan yang baru?. Pada akhirnya akan timbul pertanyaan, bagaimana seseorang memperlakukan mereka tang telah meninggalkan kepercayaannya yang sudah mapan dan bergabung dalam gerakan keagamaan baru?. Itu merupakan beberapa isu penting yang dibahas di dalam bagian ini.
            Isu yang pertama, terkait dengan kultus keagamaan (baca: gerakan keagamaan) yang secara de jure maupun de facto ditanyakan kenyataannya atau keasliannya. Karena, banyak kalangan Kristen menganggap bahwa gerakan keagamaan baru sangat mudah untuk ditolak sebagai sebuah kelompok non-religius atau dengan pernyataan kerasnya kelompok agama palsu. Khususnya kaum evangelis dan kaum fundamentalis Kristen yang selalu bereaksi negative terhadap kemunculan gerakan keagamaan baru. Mereka (baca: kaum evangelis dan fundamentalis) menganggap gerakan keagamaan baru tidak mempunyai relasi spiritual yang sejati atau asli, maka harus dilawan sebagai bentuk agama palsu dan menyesatkan masyarakat. Mereka menilai, bahwa gerakan keagamaan baru selalu memanipulasi individu dengan cara mencuci otak dan pengontrolan pikiran terhadap masyarakat.[2] Banyak hal negatif yang dilontarkan terhadap gerakan keagamaan baru, seperti dituduh hanya fokus dengan mengumpulkan kekayaan di bumi dan membuat suatu permintaan yang berat dalam hal penghayataan terhadap anggota-anggotanya. Sedangkan, menurut gerakan keagaman baru bahwa mereka mengaku percaya kepada Tuhan atau dalam beberapa realitas supranatural yang terwujud dalam kehidupan manusia. Juga ditekankan, bahwa mereka meyakini ada kehidupan setelah kematian dan mereka sangat mendukung praktek spiritualitas yang mengarah kepada tujuan akhir dan transenden. Syarat yang harus kita miliki untuk hidup bersama mereka, yakni harus mengakui mereka sebagai sebuah entitas agama yang sungguh-sungguh ada/ hadir di dunia. Meskipun dalam faktanya, mereka sangat berbeda secara radikal dari kekristenan arus utama yang benar disebut sebagai Kristen. Tetapi, gerakan keagamaan baru menawarkan pilihan spiritual yang sejati kepada mereka yang bergabung. Adanya suatu jaminan kepada anggota-anggota baru. Dalam bagian ini, ada beberapa gerakan keagamaan baru dimulai kira-kira tahun 1960 dan awal 1970. Gerakan keagamaan yang dibahas di sini, sebagai berikut: the Way International (Jalan Internasional), the Children of God (Anak-anak Tuhan), the foundation of Human Understanding (of Roy Master), Nicchiren Shoshu Buddhism, Silva Mind Control,  dan kelompok Hindu, seperti the Hare Krishna movement dan Transcendental Meditation.[3]
            Isu kedua yang juga begitu menarik untuk dianalisis, yakni apakah gerakan keagamaan baru harmonis dengan kekristenan?.[4] Sebuah pertanyaan yang membawa kepada penjelasan mendalam oleh John Saliba dalam tulisannya. Seberapa hebatnya gerakan keagamaan baru, sehingga membuat kekristenan menjadi pesaing mereka? Atau apakah kehadiran mereka dapat menjadi pelengkap keyakinan dan praktek Kekristenan. Hal ini pada awalnya dapat dilihat dari dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul “Deklarasi tentang hubungan dari gereja terhadap agama non-Kristen. Dalam dokumen tersebut menegaskan, bahwa banyak dari agama-agama di dunia ini mengakui secara langsung maupun tidak, keberadaan dari yang Mahatinggi atau yang transenden tersebut. Sama seperti Hindu, mereka merenungkan misteri ilahi dan mengungkapkannya dalam penyelidikan filosofis terhadap yang ilahi tersebut. Hal yang menarik, bahwa terdapat kesamaan di antara gerakan keagamaan baru dengan kekristenan. Seperti, Rosario yang dikembangkan sebagai devosi Kristen. Kebiasaan menggunakan manik-manik atau simbol-simbol sebagai bantuan untuk doa lisan dan jiwa dalam kekristenan, ternyara memiliki sejarah lampau di India yang pada mulanya orang Hindu dan Budha menggunakan manik-manik untuk berdoa, juga agama Muslim menggunakan tasbihnya. Jika dihubungkan praktek Yoga Kristen dan Kristen Zen, ada persamaannya juga. Hal ini membantu orang-orang Kristen dalam meningkatkan spiritualitas mereka. Juga gerakan keagamaan baru, seperti Transcendental Meditation berhubungan dengan refleksi terhadap diri dengan hubungannya kepada sang ilahi, hal ini senada dengan teknik keheningan kekristenan di timur yang dikenal sebagai hesychasm (menenangkan diri) yang merupakan sarana untuk berkontemplasi (berdoa). Ada beberapa respon kekristenan terhadap gerakan agama baru, yakni terjadinya pengabaian terhadap mereka (gerakan keagamaan baru). Kedua, gereja Kristen arus utama belum siap menerima kehadiran agama baru. Mereka tidak dapat memberi jawaban yang jelas dan pasti kepada jemaatnya. Ketiga, gereja kurang pengetahuan terhadap agama-agama baru dan lalai terhadap jemaatnya yang telah bergabung di dalamnya.
            Isu ketiga menyangkut reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru. Munculnya beberapa reaksi teologis yang membawa kepada pemahaman mendalam terhadap gerakan keagamaan baru.[5] Salah satunya dengan hadirnya istilah apologetik, yakni suatu usaha untuk membela iman katolik, khususnya. Dengan cara memahami, menjelaskan dan mempertahankan imannya secara rasional terhadap berbagai pertanyaan dan jawaban yang muncul kemudian. Dalam bagian ini terbagi atas dua bagian, pertama adanya apologetik positif dan apologetik negatif. Apologetik positif, yakni dengan cara menguraikan dan memperjelas tentang ajaran Kristen, sambil menunjukkan bagaimana keunggulan mereka, secara moral maupun filosofis dibandingkan dengan agama lainnya. Sedangkan, apologetik negatif secara langsung menyerang keyakinan agama lain. Dengan cara menunjukkan kelemahan dan inkonsistensi mereka. Philip Johnson yang adalah seorang evangelis memberikan sebuah pendekatan inovatif kepada kekristenan dalam hubungannya dengan agama baru dan ini merupakan sebuah pendekatan pastoral yang lebih produktif. Pendekatan ini disebut  juga dengan pendekatan dialogis.[6] Dengan memperhatikan perkembangan zaman dan perubahan budaya, sehingga munculnya pluralisme. Bahkan gerakan ke arah globalisasi. Tujuan pendekatan dialogis ini, agar injil tidak lagi mengkonversi keyakinan agama lain, melainkan saling mengenal/mengeksplorasi dengan dialog keyakinan satu terhadap yang lain. Metode dialog ini diadopsi dari konsili vatikan II yang pada mulanya hanya hubungan antara kekristenan, sekarang dikembangkan menjadi hubungan kekristenan terhadap agama non-kristen. Dalam konsili  vatikan II menyatakan, bahwa sebagai anggota dari ras manusia, semua orang dari asal yang sama, pasti mempunyai makna dan tujuan hidup. Terlebih lagi, semua  manusia mencari Tuhan, dalam bentuk misteri ilahi dalam hidup mereka. Dalam dokumen yang lain terdapat ‘deklarasi kebebasan manusia’, dengan cara menjunjung tinggi nurani individu, bahkan mereka yang telah  berpindah agama atau tidak mempunyai agama tertentu.[7]
            Dokumen-dokumen gereja dunia membahas tentang tujuan akhir dari dialog tersebut antara  gereja Kristen adalah suatu persatuan, dalam pengertian bersifat ekumenis. Gerakan ini untuk membangun satu hubungan kesatuan seluruh umat Kristen di dunia. Dalam hal ini usaha gereja-gereja Kristen (Protestan, Ortodoks dan Katolik) untuk membangun satu persatuan yang nyata di dunia ini. Tujuan terciptanya persatuan ini, bukan untuk memaksa setiap gereja Kristen memberi identitasnya atau menjadi satu dengan gereja baru untuk menggantikan semua denominasi. Tujuan utamanya agar adanya kerjasama dan saling pengertian satu dengan yang lain antara gereja. Pernyataan ini telah terlihat dari pertemuan dewan gereja sedunia atau The World Council of Churches (WCC) pada tahun 1986. Pada pertemuan tersebut berbicara mengenai gerakan agama baru yang hadir di dunia, dan usaha gereja untuk memahami gerakan keagamaan baru dengan ideologi mereka yang berbeda. Oleh karena itu pertemuan dewan gereja sedunia dengan tegas menyatakan bahwa harus melindungi hak-hak gerakan keagamaan baru dalam dunia ini. Dari hal tersebut terbentuk respon-respon terhadap gerakan keagamaan baru yang mencakup empat bidang utama dalam pelayanan gereja, yakni pendidikan, dialog, pelayanan dan pembaharuan gereja, dan kolaborasi ekumenis.
             Hal ini merupakan perubahan dari metode penginjilan yang lama, sekarang dengan mempertimbangkan deklarasi kebebasan beragama, maka martabat dan hak-hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat. Karena, pluralisme merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa disangkal maupun ditolak dalam kehidupan ini. Maka, saran dari John Saliba terhadap pendeta maupun pastor, yakni harus belajar dan berani berteologi dengan agama-agama lain. Agar dapat memberi arahan yang jelas dan baik kepada banyak orang. Kemudian dapat memberikan landasan yang baik terhadap orang tua kepada iman mereka, agar dengan baik membimbing anak dalam mengatasi gerakan keagamaan yang baru itu.
            Hubungan hal-hal tersebut dengan gerakan keagamaan, terlihat dari kemunculan gerakan keagamaan yang sifatnya tidak bisa terlepas dari agama yang sudah mapan (Kristen, Hindu, Budha, Islam, dsb). Persamaannya terlihat dari keyakinan kepada sang ilahi, juga terkadang ada kemiripan dalam praktek keagamaannya. Perbedaan yang jelas dari doktrin dan pemahaman tentang sang ilahi yang berbeda, sehingga kerap kali dianggap sebagai kelompok yang sesat atau agama palsu. Hal itu terjadi hingga saat ini, yakni gerakan keagamaan baru dianggap sebagai lawan terhadap agama yang sudah mapan. Masyarakat akan dicuci otaknya atau pemikirannya dikontrol kepada keyakinan yang salah. Ini semua merupakan ketakutan yang berlebihan dari agama yang sudah mapan. Selain itu, adanya pesimisme yang berlebihan mengakibatkan phobia yang besar terhadap gerakan keagamaan baru. Gerakan keagamaan baru yang muncul dianggap sebagai momok yang harus dimusnahkan. Ketakutan semacam ini harus dilihat kembali sebagai sebuah persoalan yang kembali harus dilemparkan kepada agama yang sudah mapan. Dengan cara berkaca kepada dirinya, apakah ia sudah melakukan pelayanan yang terbaik? Apakah iman hanya sebatas doktrin semata? Pendekatan pastoral gereja harus lebih ditingkatkan, dimulai dari warga jemaatnya, lebih jauh lagi mengundang keyakinan agama lain untuk berdialog dalam menghadapi permasalahan masa kini. Dunia kita bukan dunia yang homogen, melainkan dunia yang heterogen. Perbedaan pandangan, ideologi, maupun adanya unsur politik, ekonomi di dalam gerakan keagamaan harus dilihat secara holistik. Agar tidak secara kasar menuduh kepercayaan lain, sebagai sesuatu yang kafir dan palsu. Dengan berkaca terhadap diri sendiri, kita dapat mengenal identitas diri kita lebih dalam dan mulai mengenal identitas agama-agama baru di sekitar kita. Pada akhirnya, masyarakat yang beradab (civil society) terbentuk di bumi kita ini.



                [1] John A. Saliba, Understanding New Religious Movements (New York: Altamira Press, 2003), 203.
                [2] Saliba, Understanding New Religious Movement, 204.
                [3] Saliba, Understanding New Religious Movement, 214.
                [4] Saliba, Understanding New Religious Movement, 207.
                [5] Saliba, Understanding New Religious Movement, 210.
                [6] Saliba, Understanding New Religious Movement, 223.
                [7] Saliba, Understanding New Religious Movement, 224.

Comments

Popular posts from this blog

MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR

Resensi Buku Fenomenologi Agama