Cara Pandang Postmodern Versi Studi Proses Spiritualitas dan Masyarakat



            Dalam buku ini berisi sekumpulan esai dari para penulis postmodern yang fokus pada cara berpikir yang melihat masyarakat yang sedang dan menuju dunia postmodern tidak bisa terlepas dari spiritualitas itu sendiri yang dalam pengertian umumnya merupkana disposisi mental dan komitmen personal yang dibentuk oleh konstelasi nilai dan makna hasil dari gambaran dunia tertentu. Melalui tulisan ini memperlihatkan bahwa worldview atau cara pandang dari paradigma postmodernisme sangatlah penting, terkhusus menekankan pada sisi spiritualitas. Pandangan David Ray Griffin mengenai spiritualitas sangat menarik, Griffin menyatakan bahwa spiritualitas menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita,
baik duniawi maupun yang tidak duniawi untuk meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Griffin menyatakan istilah tersebut berkonotasi religius, dalam artian bahwa nilai dan makna dasar seseorang mencerminkan hal-hal yang dianggapnya suci, yaitu kepentingan paling mendasar.[1] Akan tetapi, bisa jadi apa yang dianggap suci merupakan sesuatu yang duniawi, seperti kekuasaan, energi seksual atau kesuksesan. Dalam buku ini istilah spiritualitas berhubungan dengan nilai-nilai dan komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya.
            Adanya hubungan timbal balik antara spiritualitas masyarakat dengan spiritualitas anggota-anggotanya, dalam bahasa sosiologi terjadinya proses internalisasi dari nilai-nilai, adat-kebiasaan yang ditanamkan dari suatu masyarakat kepada anggota-anggotanya. Dalam buku ini melihat terjadinya pergeseran cara pandang dari masyarakat dan spiritualitas modern ke postmodern. Adanya perbedaan cara pandang, dimulai dari pemahaman bahwa spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat dualistis dan supernaturalistis, dan berakhir sebagai suatu pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau antispiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur pramodern. Meskipun demikian, tetapi cara tipe masyarakatnya juga harus berbeda dari masyarakat pramodern dan modern. Dalam perjalanannya masyarakat postmodern akan membalikan unsur-unsur modernitas, seperti  individualisme dan nasionalisme, yang merujuk pada direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial moral, religious, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi.[2]
            Charlene Spretnak[3] yang menulis esainya tentang arah postmodern menjelaskan dengan gambling bahwa untuk mencapai cara pandang postmodern yang membebaskan manusia dari segala macam penindasan, maka manusia maupun masyarakat harus fokus melihat pada dua wilayah ini, yakni mengembalikan makna dan memberdayakan manusia pada tingkat  komunitas. Melalui pemahaman teologi masing-masing agama yang membebaskan dan bisa memberikan makna kepada komunitas yang akan diiinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini teologi sosial berkembang, pemahaman tentang gender semakin berkembang, semua itu untuk mendukung terwujudnya cara pandang yang baru dengan fokus pada gerakan hijau suatu komunitas yang menurut Spetnak gerakan ini lebih bersifat partisipatif yang dalam pemikiran masyarakat biasa adalah ‘politik’. Dengan gerakan inimaka masyarakat memiliki kesadaran penuh tentang karakter ekologis, kultural dan ekonomi dari lingkungan yang kita tempati.[4]
            Joe Holland dalam esainya tentang suatu visi postmodern tentang spiritualitas dan masyarakat melihat bahwa keunggulan energi spiritual dari masyarakat  memiliki peran dan implikasi yang penting dalam perubahan suatu masyarakat itu sendiri. Ia melihat dalam masyarakat postmodern prinsip karismatis merupakan prinsip yang bergerak secara tidak terduga. Holland menyatakan bahwa roh bergerak ke mana Ia mau dan erring kali tampak di luar tatanan yang sudah direncanakan sebaik-baiknya. Di sini terlihat esensi kebangkitan dan transformasional kultural ketika Holland menamakan Roh tersebut dengan jenis kelamin perempuan.[5] Holland melihat bahwa alam yang ada sebagai perwujudan spiritual itu sendir, juga masyarakat sebagai perkembangan spiritualitas alam secara manusawi oleh kultur postmodern sebagai spiritualitas zaman ekologis. Dalam tulisannya, Holland melihat bahwa visi  sosial postmodern mempunyai problematika yang bersifat organic dan rumit, khususnya melihat masalah kultural. Dengan mengupayakan suatu strategi ekonomi yang tepat guna dan melihat harus adanya koperasi komuniter, yakni adanya pembaharuan dan transformasi gerakan koperasi.  Oleh karena masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis telah menciptakan hubungan-hubungan yang sangat bertentangan dengan alam, melihat visi zaman pencerahan yang mengatakan hal tersebut memperkosa alam.[6]
            Dalam cara pandang postmodern harusnya ada  teknologi tepat guna yang berusaha mengintegrasikan proses kerja manusia dengan persekutuan alamnya. Dengan cara partisipatif atau demokratis yang menghormati martabat manusia dengan lebih baik, kemudian peran pengambilan keputusan bisa dimiliki bersama oleh banyak orang dan yang paling penting menggerakkan dan memberdayakan tenaga penganggur yang kini masih ‘tidur’ dalam pandangan Holland untuk diekspresikan secara kreatif dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia. Holland memberi contoh, hal ini bisa dilakukan eksperimen seperti koperasi-koperasi Basque yang berpusat di kota Mondagron dan banyak cerminan dan eksperimen ekonomi.[7] Koperasi yang berpusat di kota Mondagron tersebut membuat para anggota dapat bekerja dan menjadi juragan atas dirinya sendiri. Dengan itu dapat diberdayakan setiap masyarakat yang tidak dapat melakukan apa-apa di dunia yang sulit menerima mereka. Holland juga melihat bahwa pentingnya ‘politik’ dari komunitas dan demokrasi yang membangun solidaritas jaringan dari kelompok-kelompok yang berakar. Istilah yang digunakan Holland menunjuk pada peran lembaga keagamaan sebagai  dasar dari masyarakat untuk membangun komunitasnya sendiri, dalam contohnya komunitas kristiani, seperti strategi pastoral dalam mastarakat, kemudian terjadi kebangkitan gerakan organisasi komunitas yang disponsori oleh gereja, seperti gelombang buruh yang terjadi saat itu.
            Hal ini merupakan praktek yang menjadi benih dari kreativitas sosial yang lebih besar, karena energi politik postmodern sangat berbeda dengan energi politik modern  (sosialis dan kapitalis), karena postmodern mengarahkan energinya pada komunitas lokal dan solidaritas global. Dalam periode postmodern partisipasi menjadi semakin langsung, organis, tidak hirarkis dan tidak birokratis, singkatnya, lebih berpartisipasi. Seperti masyarakat yang dulunya terpencil dan tidak terjangkau, kemudian langung dapat masuk dan berpartisipasi dalam masyarakat arus utama.[8] Holland melihat bahwa mesin sosialmodern semakin menghancurkan kehidupan, baik  kehidupan alam, kehidupan manusia dan kehidupan spiritualitas, mesin ini mengancam kehidupan yang miskin yang belum dilahirkan dan para pembangkang. Terjadinya ketidakberdayaan di hadapan ekonomi dan birokrasi politik yang kolosal. Dengan ini harus adanya kultur yang merubah semua itu, dalam pemahaman Holland dapat menyentuh akar-akar spiritual tradisi kemanusiaan kita. Pada akhirnya kehadiran Roh yang menyembuhkan dan menciptakan.[9]
            Falk menyatakan bahwa pembangkangan dan sikap tidak kompromi sebagai yang tidak bisa disingkirkan untuk bisa merangkul kemungkinan postmodern yang autentik. Itulah perlu mengaitkan tubuh dan sumber daya kita dengan berbagai macam pertarungan terhadap kejahatan-kejahatan khas modernitas, jika tidak maka secara etis dan politis kita tidak akan mampu melintasi jurang pembatas antara masa kini dan masa  depan. Maka untuk menjadi postmodern menurut Falk, kita perlu mengembangkan praktek dan memupuk kesadaran yang secara serentak mendiami kenyataan pramodern, modern dna postmodern dari makhluk-makhluk actual dan potensial.[10] Daly melihat dari sudut pandang ekonomi bahwa diperlukan suatu landasan spiritual yang memberikan sumber daya moral dalam menentukan langkah-langkah yang bertujuan dalam hal ini pertumbuhan ekonomi.[11] Freudenberger menulis sebuah esai yang sangat bermanfaat mengenai pertanian di dalam dunia postmodern yang melihat bahwa kegiatan pertanian ini menjadi suatu spiritualitas postmodern, oleh karena fokusnya pada pemeliharaan bumi dalam rekayasa ilmu dan teknologi pertanian untuk meningkatkan hubungan manusia dengan sistem alam yang berkaitan dengan kehidupan ini. Maka dalam suatu pertanian postmodern, nilai-nilai seperti pemupukan kekayaan dan kekuasaan untuk melakukan control dan manipulasi terhadap sistem-sistem alami digantikan dengan semangat bekerja sama dan saling menjaga sebagai bentuk spiritualitas manusia dengan semangat memelihara dalam rasa terima kasih.[12] Pada akhirnya Diriffin memberikan pandangan bahwa pemikiran postmodern sangatlah penting utnuk memberikan kesempatan kepadakita untuk bergerak lebih dekat ke kebenaran dari segala sesuatu, juga diperlukan demi kesehatan fisik, moral dan spiritual kita sebagai individu dan komunitas sehingga sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan kita.[13] Dengan menyadari adanya dorongan religius untuk meniru sang Ilahi yang membuat mereka menyatu dari kebaikan setiap kelompok menjadi kebaikan untuk semuanya.



[1] David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 15.
[2] Griffin, Visi-Visi PostModern, 16-17.
[3] Charlene Spretnak dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 57-59.

[5] Joe Holland dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 75-76.
[6] Joe Holland dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 84-85.
[7] Joe Holland dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 85-86.
[8] Joe Holland dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 87-88.
[9] Joe Holland dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 89.
[10] Richard A. Falk dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 135-136.
[11] Herman E. Daly dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 166.
[12] C. Dean Freudenberger dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 176-177.
[13] C C. Dean Freudenberger dalam David Ray Griffin, Visi-Visi PostModern Spiritualitas dan Masyarakat  (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 204-205.

Comments

Popular posts from this blog

MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR

Resensi Buku Fenomenologi Agama