Filsafat Ilmu

            Hal yang paling mendasar yang perlu diketahui bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology, yakni suatu cabang filsafat yang berbicara mengenai hakikat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.[1] Ketika ingin mencari suatu dasar, dan ingin mencari suatu pijakan dalam menganalisis suatu ilmu, maka diperlukan pengetahuan awal yang berkaitan dengan suatu ilmu itu sendiri. Oleh karena, kita hidup dalam suatu zaman yang sudah terkonstruksi dari segi budaya, proses berpikir, bertingkah laku, dan sebagainya. Terkadang apa yang sudah kita yakini sebagai hal yang mutlak dan benar, merupakan hal yang benar adanya, tanpa memikirkan terlebih dahulu hal tersebut dari prinsip ilmu yang lain. Mikhael Dua menyatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan tidak lagi bersifat empiris sebagaimana diusahakan ilmu-ilmu empiris, melainkan bersifat normatis kritis.[2] Artinya,
sebagai seorang yang berpikir mengenai suatu ilmu pengetahuan itu sendiri, sangat perlu mendasari setiap pemikiran dengan etika dari ilmu pengetahuan. Dengan itu proses berpikir kita menjadi lebih terbuka, wawasan untuk merekonstruksikan pemikiran-pemikiran menjadi lebih baik. Ketika ilmu ingin berkembang, maka faktor yang terpenting bukan hanya melakukan suatu penelitian, dan stuck dalam keadaan itu saja sehingga menjadikan hal  tersebut sebagai suatu kebenaran yang sahih, melainkan diperlukan refleksi di dalam penelitian tersebut.[3] Kebenaran dalam ilmu pengetahuan tidak menjadikan sesuatu itu menjadi mutlak dan tidak bisa berubah, melainkan sebaliknya melalui proses panjang, pasti ilmu tersebut akan berkembang dan selalu ada perubahan demi perubahan yang terjadi. Melalui refleksi kristis tersebut, baik refleksi ke dalam diri maupun refleksi ke luar diri, menjadikan ilmu pengetahuan menjadi lebih kaya dan mengubah cara pandang kita terhadap sesuatu.
            Van Peursen menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.[4] Dengan mendasari pada pemikiran Van Peursen, maka saya melihat bahwa suatu ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari suatu etika yang menjadikan sesuatu itu lebih subyektif, tidak melihatnya sebagai sesuatu yang obyektif. Etika ilmu pengetahuan diperlukan untuk menelusuri lebih dalam perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, ditinjau dari konteks ruang dan waktu yang semakin lama terbagi dalam beberapa dimensi lintas ilmu. Meninjau dari segi religi dan berbicara mengenai agama, maka sudah seharusnya agama dimanapun konteks ruang dan waktunya harus bersifat lebih terbuka, lebih bisa merefleksikan dirinya sendiri, dan pada akhirnya harus merubah diri untuk menjadi lebih masuk akal.[5] Pengertian masuk akal dalam pernyataan Betrand Russel yang dikutip oleh Mikhael Dua, menurut pandangan saya  bahwa agama perlu melihat dirinya hadir dan berada di tengah-tengah dunia ini sebagai sesuatu yang penting, dan berkaitan dengan etika maupun nilai-nilai yang berada di dalam suatu masyarakat. Ketika agama ingin melihat dirinya sebagai sesuatu yang berada di dalam masyarakat, agama perlu merefleksikan ke dalam dirinya, apakah agama yang selama ini didengang-dengungkan bersifat eksklusivisme terhadap dirinya dan orang disekitarnya sehingga pada akhirnya melupakan tugas dan panggilannya hadir di dunia ini, sebagai pembawa nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia. Agama tidak harus dan tidak melulu berbicara mengenai spiritualitas, melainkan langsung mendasar pada kebutuhan awal manusia, yakni di dalam kehidupan sosial yang berkaitan dengan nilai dan norma itu sendiri.




[1] Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, 2007. 33.
[2] Dua, Mikhael, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis dan Dialektis, Penerbit Ledalero, 2007.  5.
[3] Dua, Mikhael, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis dan Dialektis, Penerbit Ledalero, 2007.  6.
[4]  Peursen, Van. Susunan Ilmu Pengetahuan. Gramedia Pustaka, Jakarta. 4.
[5] Dua, Mikhael, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis dan Dialektis, Penerbit Ledalero, 2007.  8.

Comments

Popular posts from this blog

MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR

Resensi Buku Fenomenologi Agama