Dasar Pemahaman Teologi Feminis

         
   Pada pertemuan sebelumnya kami belajar dari teori feminis esensialisme (Helena Cixous), dimana dari pertemuan tersebut saya mendapatkan banyak pandangan baru mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dan ditinjau dari sifat biologis ataupun alamiah dari manusia. Kemudian pada pertemuan ke-5 saat ini, kami belajar pandangan-pandangan baru dari feminis konstraktivisme dan feminis Strategi Esensialis. Dimulai dari feminis konstraktivsme yang mempunyai tokoh terkenal, yakni Judith Butler yang sangat menentang teori feminis esensialisme dari Cixous, Butler mengatakan bahwa gender, seks dan perempuan bukanlah merupakan fakta-fakta natural, ataupun ciri-ciri esensial/universal dari seseorang melainkan merupakan akibat dari dinamika hasil kebudayaan dan  kesepakatan bersama, sehingga menjadi perempuan atau menjadi laki-laki bukan merupakan faktor biologis.
Butler menyatakan identitas Biologis sebaiknya dipahami sebagai sebuah penampilan dengan demikian memberlakukan peran dan posisi sosial. Dari hal  tersebut saya setuju terhadap pandangan Butler, karena menurut saya semua hal di dunia ini sudah diatur oleh proses kebudayaan yang sangat panjang. Sadar maupun tidak sadar kita masuk dalam kebudayaan yang telah diatur dimanapun konteks kita berada. Untuk itu sangatlah perlu mengkritisi setiap hal dari segi sosial, budaya, dsb. Hal tersebut menambah pemahaman saya bahwa gender juga masuk dalam ranah ini, karena adanya feminis esensialisme maka setiap orang menganggap dirinya sudah memang begitu adanya, seperti dalam seksual binary yang telah membedakan secara tegas antara laki-laki dan perempuan, tanpa dikritisi lebih dalam sehingga sebagai manusia kita hanya dapat menerima hal tersebut dan membiarkan konstruksi pemikiran laki-laki masuk dalam kebudayaan kita semua.

            Tanpa disadari melalui hal tersebut, penindasan secara fisik maupun psikis terjadi. Oleh karena itu pandangan feminis konstraktivisme ini membuka pemikiran saya bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini telah melewati perjalanan yang panjang, dengan proses kebudayaan yang panjang juga. Meskipun dalam feminis esensialisme ditekankan adanya yang natural, tetapi dalam pandangan konstraktivisme menyatakan bahwa yang natural sendiri itu adalah sebuah konstruksi, perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah dari konstruksi sosial itu sendiri. Dengan hal tersebut kita sudah terjebak pada budaya yang “MENGIKAT” kita untuk melakukan ini dan itu, sebagai laki-laki dan perempuan, sepertinya semua sudah diatur. Dengan demikian perlunya sikap kritis kita untuk merekonstruksi pandangan-pandangan tersebut. Pada pelajaran yang terakhir dari pandangan seorang filsuf perempuan Luce Iragaray mengenai strategi esensialis yang mana pandangannya tidak memihak antara feminis esensialis dan feminis konstraktivisme, melainkan ia berada di tengah-tengah. Dari ketiga pemikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kita untuk memahami teologi feminis lebih dalam.

Comments

Popular posts from this blog

MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR

Resensi Buku Fenomenologi Agama