Book Review
Judul : Agama-Agama Kekerasan dan
Perdamaian
Penulis : OLAF H. SCHUMANN
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Tebal : 638 Halaman
Laporan
Baca : Halaman 573-615 (Gerakan Zionisme
dan Negara Israel)
Pada Bab ini yang membahas tentang
gerakan Zionisme dan Negara Israel, penulis melakukan analisisnya terhadap
perkembangan dan pengaruh dari gerakan Zionisme ini dan kemudian melakukan
suatu kajian terbentuknya Negara Israel. Dimulai dari permasalahan mengenai tanah
yang dilihat dari perspektif Alkitabiah, terkhusus dari kitab suci kaum Yahudi
yang oleh umat Kristiani disebut perjanjian
lama yang dikatakan bahwa tanah itu tetap milik Allah dan Israel harus
bertanggungjawab untuk menjaga dan menggarapnya, oleh karena tanah itu juga
harus dibagi ketika siklus-siklus tertentu (siklus yobel, biasanya 50 tahun).
Yang menjadi pokok permasalahan bagi penulis yakni mengenai gerakan zionisme
ini sendiri, perlu diketahui zionisme adalah gerakan nasional orang Yahudi yang
mendukung terciptanya sebuah tanah air Yahudi yang biasa dikatakan sebagai
tanah Israel. Dari sudut pandang teologis yang mengatakan bahwa tanah tersebut
ialah milik Allah, tetapi dari gerakan Zionisme yang kebanyakan pendiri dan
pemukanya adalah ateis sehingga Allah dicoret dari sejarah. Sejarah dari sudut
pandang teologis atau alkitabiah telah dipahami sebagai sejarah nasional bangsa
Yahudi sehingga tanah itu dituntut sebagai milik sah bangsa Yahudi. Dari
perspektif gerakan zionisme memandang Tanakh
sebagai catatan sejarah nasional bangsa Yahudi yang menceritakan kelahiran
bangsa secara mitologis, bukan sebagai kesaksian atas sejarah umat Israel
bersama Allah. Ini yang menjadi dasar acuan terhadap pergerakan zionisme dan Negara
Israel.
Dalam bagian ini juga penulis
menjelaskan secara singkat namun tegas mengenai orang-orang Yahudi dan tanah
Palestina, sejarah singkat dari Palestina maupun pemerintahan yang ada pada
saat itu yang mempengaruhi orang-orang Yahudi pada saat itu. Pemberontakan yang
paling dahsyat, yakni pada tahun 70 M dimana sebagai akibatnya sebagian
penduduk Yerusalem dan sekitarnya diusir. Setelah pemberontakkan pemimpin Bar
Kosiba yang gagal tahun 135 M sehingga lebih banyak lagi orang Yahudi yang
diusir, mereka dilarang tinggal di Yerusalem. Bar Kokhba yang dianggap sebagai
seorang Masyiah telah gagal menjadi juruselamat yang diurapi oleh Allah
sehingga harapan orang Yahudi terhadap kedatangan seorang Masyiah politis dan
militer dalam semakin dekat semakin mengecil. Pengharapan kemudian ialah ketika
kedatangan zaman mesianis, yakni seluruh umat Yahudi akan memenuhi seluruh
Tora. Barulah saat itu Masyiah yang benar akan muncul, dan umat Yahudi akan
berkumpul lagi di sekitar Yerusalem dan memuji nama Allah di tempat pilihanNya.
Hal ini merupakan cita-cita utama dari orang-orang Yahudi pada saat itu dan itulah
yang melatarbelakangi juga pergerakan dan perkembangan zionisme yang mana
mereka memakai bukit zion sebagai lambang hubungan batin antara umat dengan
tempatnya yang asli yang telah ditinggalkan karena dipaksa bangsa-bangsa lain.
Dari hal tersebutlah orang-orang Yahudi semakin terpencar-pencar (golah artinya penyebaran atau diaspora)
sehingga bukir zion itu menjadi lambang kerinduan mereka.
Banyak hal yang dialami ketika
orang-orang Yahudi melakukan golah tersebut,
mulai dari kedudukan mereka yang senantiasa sulit dan semakin lama tidak
diterima oleh penduduk di mana tempat mereka tinggal, mereka tidak boleh
mempunyai tanah, kebanyakan dari orang-orang Yahudi tersebut menjadi pedagang
atau penukar uang dan tukang jahit. Ketika hal itu terjadi, kerinduan orang
Yahudi untuk pulang ke tempat asal mereka semakin dalam tetapi hal itu
tergantung dari penguasa kota atau raja saat itu. Ketika zaman pencerahan tiba
di Eropa Barat kaum Yahudi diundang oleh orang Barat untuk keluar dari ghetto dan mengasimilasi diri dengan
kebudayaan dan peradaban Barat serta berbaur dengan penduduk. Dengan hal itu
banyak orang Yahudi yang mengidentikkan diri dengan “tanah air baru” sehingga
menjadi orang Eropa (Jerman, Belanda, Prancis, dsb), namun kerinduan untuk
kembali ke Sion tetap dipelihara di kalangan Yahudi yang setia. Dampak dari
Nasionalisme di Eropa terlihat jelas dengan munculnya gerakan yang paling awal
yakni gerakan pan-Slavisme yang berkembang diantara berbagai bangsa Slav di
dalam kekaisaran Austro-Hungarian dan turki selama tahun 1930an-1940an yang
mana daerah mereka dikuasai oleh bangsa Asing. Hal itu bisa dikaitkan dengan
paham Marksisme yang mana sistem
ekonomi, sosial dan sistem politik dapat menyebabkan kaum kapital yang menindas
atau dengan kata lain mengorbankan kaum proletar. Dari adanya golongan seperti Marksisme, Sosialsime dsb.. Golongan
Zionis malah berpendapat bahwa orang Yahudi senantiasa tidak akan aman di
tengah-tengah bangsa lain, karena itu mereka memerlukan suatu tanah air sendiri
dan mereka menginginkan Palestina, yakni tanah nenek moyang mereka.
Penulis semakin fokus dan membahas
mengenai pergerakan zionisme di Eropa Barat yang mana pada awalnya orang-orang
Yahudi dibenci oleh orang Kristen karena alasan mereka membunuh Allah (Yesus),
tetapi semakin lama pola pikir ini berkembang menjadi Antisemitisme, yakni
suatu sikap permusuhan atau prasangka terhadap kaum Yahudi dalam bentuk-bentuk
penganiayaan/penyiksaan terhadap agama, etnik, maupun kelompok ras, mulai dari
kebencian terhadap individu hingga lembaga yang ada pada saat itu. Semakin hal
itu terjadi maka semakin muncullah dan berkembang zionisme, ketika itu awalnya
terjadi di Paris (Prancis) yang menyebabkan zionisme itu muncul sebagai gerakan
politik. Gerakan ini secara resmi memperoleh jaminan keamanan dan dukugan
terhadap programnya oleh suatu kekuasaan politis, yakni pemerintahan Inggris.
Ketika kaum Yahudi di bawah pemerintahan Chaim Weizman yang mendekati orang
yang berpengaruh untuk mendukung rencana Jewish
Agency yang hendak mengirim lebih banyak orang Zionis ke Palestina untuk
berperang. Semakin hari kekuatan politis dari gerakan ini semakin menjadi-jadi
sehingga cita-cita zionisme semakin besar untuk membentuk suatu tanah yang
mayoritasnya ialah orang Yahudi sehingga sebuah Negara Palestina tidak
disetujui selama ideologi Zionis menguasai arus politik dalam Negara Israel.
Dengan ideologi seperti itu pantas saja seja tahun 1967 ‘teroris’ menjadi
pemimpin Negara dan itu menjadi sesuatu yang dianggap biasa atau dianggap bisa
memajukan suatu Negara Israel, padahal pola pikir dan tindakan mereka dapat
dikatakan kolot yang ingin membuat diri eksklusif dari bangsa lain. Negara
Israel ini yang berdasarkan ideologi Zionisme dapat diterima sebagai negara
sekuler modern ketika ia dapat menghormati hukum-hukum internasional dan juga
memenuhi tata kenegaraan modern yang didasarkan pada kesetaraan hak dan
kewajiban bagi semua warganya sehingga itu bukan lagi persoalan Teologi. Dalam
hal ini setiap agama, melalui kitab sucinya sebenarnya meyakini hal itu sebagai
sumber perdamaian. Namun, terkadang itu dijadikan hal untuk melakukan kekerasan
di muka bumi ini oleh masing-masing penganutnya, hal inilah yang perlu kita
renungkan kembali, makna dan esensi dari agama itu sendiri dalam kehidupan
nyata kita hari lepas hari.
Saya
melihat bahwa penulis dengan sangat baik mengantarkan pembaca untuk menelusuri
masa kehidupan manusia ketika beragama, melalui analisis serta kritiknya
terhadap gejala keagaamaan dan sosial yang telah terjadi. Olaf Schumann ini
dengan sangat baik menggabungkan analisis dari perspektif teologis, historis,
sosiologis dan politis dalam bacaan mengenai Gerakan Zionisme dan Negara
Israel.
Saya melakukan wawancara kepada
Pendeta Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (GEPSULTRA), mengenai judul besar
Orang Kristen dan Konflik Israel Palestina. Dalam proses wawancara tersebut
Bapak Pendeta menjelaskan pandangannya bahwa konflik tersebut harus
pertama-tama kita lihat dari kacamata politik, dan bukan persoalan agama.
Memang pada awalnya merupakan masalah agama, tetapi lama kelamaam berubah
menjadi suatu ideologi politik bagi bangsa Israel. Hal tersebut yang menyangkut
kewilayahan dan kependudukan termasuk dalam perpolitikan bangsa Israel, oleh
karena bagaimanapun juga letak geografis itu yang sangat strategis dan menjadi
tempat dari nenek moyang mereka untuk mempertahankan wilayahnya. Melihat dari
sudut pandang Teologis Bapak Pendeta tersebut mengacu pada alkitab bahwa memang
benar tanah itu Tuhan janjikan kepada Israel, tetapi yang menjadi persoalan
apakah itu sesuai dengan kehendak Tuhan? Cara-cara merebut tanah perjanjian
tersebut, dan itu bukan lagi merupakan suatu tanah perjanjian jika hal itu
(Perang) terus menerus terjadi. Sebagai orang Kristen yang juga pemimpin jemaat
ia mengatakan bahwa dogma telah berubah menjadi ideologi, sekarang yang terjadi
di Israel bukan lagi suatu perjuangan iman, tetapi itu sangat politis sehingga
tindakan dari Israel sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani, yakni
prinsip kasih. Sedangkan prinsip Yahudi yakni mata ganti mata dan gigi ganti gigi,
memang benar masing-masing orang dalam hidup memperjuangkan hak, tetapi tidak
harus dilakukan dengan cara kekerasan. Kemudian Bapak Pendeta mengatakan
konflik itu tidak akan pernah berakhir selama kekerasan juga tidak berakhir,
kata orang memang perang bisa menyelesaikan masalah tetapi tidak benar-benar
sampai ke akar permasalahannya. Cara perdamaian yang efektif yakni adanya
dialog, yakni kerangka bernegara secara diplomasi sehingga semua pihak harus
duduk berdialog bersama agar semua permasalahan dapat dibicarakan bersama.
Comments
Post a Comment