PERAN GEREJA DALAM PEMBARUAN POLITIK YANG SUCI DI INDONESIA



PENDAHULUAN
Sejak kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945, dari masa ke masa gereja-gereja di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari pergolakan politik yang terjadi. Dapat dilihat dari masa revolusi, pada masa kepemimpinan Soekarno, dan terakhir yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada masa kepemimpinan Soeharto. Di dalam masa itu menyebabkan munculnya pemikiran serta aspirasi politik yang baru di kalangan semua kelompok politik. Kejatuhan Soeharto telah memicu gerakan besar di Indonesia, yang ditandai oleh krisis besar-besaran dan bersifat nasional. Krisis yang terjadi memaksa semua kelompok untuk melakukan pemikiran ulang tentang tugas politik yang baru di era reformasi, terlebih khusus untuk gereja, yakni bukan hanya melakukan kegiatan besar-besaran saja, tetapi perlunya memikirkan arah, perspektif serta paradigma baru mengenai keterlibatan gereja dalam politik. Dari latar belakang politik itu, analisis saya yang pertama adalah di dalam dunia ‘perpolitikan’ tidak bisa lepas dari ‘komunikasi’ dan ‘kuasa’ itu sendiri, oleh karena kuasa merupakan aspek yang selalu muncul baik dalam konteks komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi antarorganisasi, maupun komunikasi massa adalah masalah kuasa.
Posisi komunikasi sebagai pengantara di antara realita dan manusia membuatnya berkuasa besar, baik di dalam memilih dan mendistorsi realita maupun dalam fungsinya untuk menciptakan makna-makna baru di dalam hidup. Artinya, komunikasi sebagai pengantara antara manusia dan realita menjadi “tuan besar”.[1]

PEMBAHASAN
Selama ini terjadi kerancuan dan ambiguitas khususnya di dalam bidang sosial politik di tengah kehidupan gereja-gereja di Indonesia. Pertanyaan yang selalu timbul adalah apakah umat kristen boleh berpolitik atau tidak? Sampai batas manakah umat Kristen masuk dalam dunia perpolitikan?, keadaan semacam itu justru sering kali menimbulkan kebingungan dan kerawanan tertentu di masyarakat. Sikap apatisme sering kali justru membuat orang tidak siap untuk mencari bentuk tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Kita melihat akhir-akhir ini di banyak gereja berkembang mempunyai pendapat bahwa para pendeta, pemimpin umat dan para pemikir teologi tidak boleh menerjunkan diri ke dunia politik praktis, tugas mereka yang utama adalah untuk menjembatani umat dengan dunia politik. Dalam hal ini upaya untuk merumuskan “teologi kontekstual” di Indonesia selama ini juga belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Untuk melakukan pembaruan politik bagi umat kristen, terlebih dahulu perlunya meluruskan misperspepsi tentang politik, oleh karena pemahaman umat atau jemaat tentang politik sering mengalami distorsi berdasarkan pengalaman-pengalaman traumatik di masa lampau. Pemahaman itu biasanya bersifat menolak dan mengkhawatirkan politik sebagai sumber kekacauan dan disharmoni, oleh karena itu politik kemudian identik dengan kekacauan, perseturuan, persekongkolan dan permusuhan. Politik dianggap kotor, lebih baik tidak menyentuhnya supaya orang tidak dikotori dengan nafsu-nafsu jahat. Dengan pemahaman semacam itu timbulah sikap apatisme dari kalangan masyarakat, sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab terhadap peraturan dalam dunia politik. Dari pandangan tersebut, saya menanalisis bahwa yang terjadi adalah komunikasi itu seperti prinsip ke 11 Deddy Mulyana yang mengatakan “Komunikasi bersifat Irreversible”, yakni suatu perilaku atau suatu peristiwa, yang telah berlangsung dan tidak dapat ‘diambil kembali’. Padahal, kemana pun orang menjauh dari politik, ia tidak akan bisa terlalu jauh dari dunia politik. Pandangan semacam ini harus diluruskan,  harus dibuat keseimbangan untuk melihat sisi politik yang sungguh manusiawi dan bersifat membebaskan. Harus dikatakan bahwa politik bukanlah kotor, melainkan suci, atau paling tidak tak bisa dihindari. Tugas gereja dalam politik adalah tugas suci, tugas khusus yang tak bisa digantikan oleh lembaga lain di masyarakat. Politik itu suci, karena tugas pokoknya adalah menjaga kesucian harkat dan martabat manusia yang setiap hari dilangar dan dilecehkan dalam relasi-relasi yang tidak adil dalam dunia politik.
Gereja-gereja dalam konteks masa kini hanya berpikir tentang kepentingannya belaka. Mereka hidup tanpa memperdulikan kepentingan orang lain untuk mencapai kedewasaan dalam berpolitik. Tidak jarang warga gereja terjerumus dalam berbagai skenario dan plot untuk memojokkan kelompok lain, sehingga sifat seperti itu cenderung menolak pluralisme dan tidak memiliki pandangan politik yang lebih luas. Mereka melakukan diskriminasi dan menghalangi orang lain ikut dalam kehidupan politik. Seharusnya sebagai lembaga rohani yang terbuka, gereja juga harus mampu melakukan otokritik untuk menilai diri seberapa jauh selama ini acapkali tergoda untuk menjadi persekutuan yang tertutup merasa aman dalam lingkungan benteng yang rapat terkunci.
Gereja pada saat ini perlu diperbaharui juga, karena sebagai institus rohani yang merupakan bagian integral masyarakat mengalami keadaan krisis juga, yakni krisis kepemimpinan, institusional, keuangan dan juga kehilangan orientasi teologi.Untuk melakukan perubahan tersebut, gereja harus melakukan pembaruan politik ke arah emansipasi, yakni pembebasan atau permerdekaan. Emansipasi politik perlu disadari selaku esensi keterlibatan gereja dalam reformasi politik. Prinsip emansipasi berarti memberi peluangg dan kesediaan berbagi kesempatan bagi kelompok lain untuk melakukan peran bagi kehidupan bersama di tengah masyarakat majemuk. Pembaharuan politik merupakan upaya untuk mengubah politik konfrontasi menjadi politik emansipasi. Dalam kaitan dengan hal itu, panggilan dan peran gereja adalah menyiapkan sebuah landasan etika politik yang lebih luas dan terbuka bagi umatnya, sambil menyebarluaskan gagasan keterbukaan kepada masyarakat, dan berani mengambil inisiatif untuk melakukan komunikasi dengan pemimpin umat yang lain. Gereja-gereja harus mengambil bagian yang nyata pada upaya-upaya kelompok politik mana pun yang terarah pada pembentukan masyarakat yang demokratis dan menghargai Hak Asasi Manusia (HAM).[2]
Gereja saat ini terpangil untuk terbuka pada pilihan-pilian politik yang lebih irasional dan memberi perhatian pada masa depan yang majemuk. Gereja-gereja juga terpanggil untuk menawarkan wacana yang bisa diterima oleh masyarakat luas, di mana kebanyakan warga masyarakat bisa mengambil bagian di dalamnya. Wacana ini yang benar-benar bisa menjadi “medium komunikasi” yang menempatkan semua pihak setara dan sekaligus menghargai integritas masin-masing. Dari buku Struggling In Hope sehubungan dengan persoalan wacana tersebut, di tengah-tengah kemelut sosial-politik dewasa ini, ada empat macam pilihan wacana di kalangan Kristen. Pertama, mereka yang ingin mempertaruhkan wacana Kristen habis-habisan secara total frontal tanpa kompromi. Secara prakttis dalam kehidupan politik mereka menerjemahkannya dengan wadah partai politik Kristen, posisi ini bisa disebut eksklusif, karena dalam posisi ini terdapat pemahaman bahwa kepentingan hanya dari kalangan Kristen. Kedua, menawarkan sebuah wacana yang netral dan bercorak “sekuler” dengan cara langsung menawarkan gagasan-gagasan yang bercorak “non agamis”, seperti demokrasi, emansipasi, keadilan sosial, HAM, dan lain-lain. Pendekatan ini bisa disebut sebagai pendekatan inklusif “sekuler” atau “netral agama”. Ketiga, adalah wacana yang dikembangkan dari basis Pancasila sebagai salah satu puncak eksplorasi konsensus politik yang ada dalam sejarah Indonesia. Pancasila yang dikenal selaku pilihan kompromi antara sistem agama dan sistem sekuler merupakan jalan tengah yang dibangun untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan dari kelompok-kelompok suku dan agama. Keempat, yakni wacana yang benar-benar terbuka bagi semua hal yang hidup dalam masyarakat, merupakan suatu pendekatan yang bertolak dam berumara pada kemajemukan bangsa, khususnya memberi perhatian pada agama-agama di Indonesia. Lebih khusus lagi memberi perhatian kepada anutan agama mayoritas, dengan cara mendukung intrepretasinya secara demokratis dan terbuka kepada umum. Posisi ini bisa disebut sebagai wacana pluralisme, atau pluralisme religius.[3] Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika keempat pilihan tersebut harus dibicarakan secara kritis dan terbuka bagi gereja dan kelompok lain.
Untuk menjalankan peran politik yang transformatif tersebut gereja-gereja tidak mungkin hidup dalam kungkungan “kompleks minoritas”. Kompleks minoritas ini bisa melahirkan dua macam ekstrem, yang pertama, hidup dalam ketakutan dan kehilangan kepercayaan diri, kedua bisa muncul over kompensasi menentang golongan lain dengan jalan kekerasan dan semangat martidom yang tinggi. Sebagian umat Kristen fundamentalis mengambil sikap: lawan dan singkirkan mereka dari arena politik! Dengan kompleks minoritas semacam itu tidak akan mungkin terjadi dialog yang produktif dengan kalangan lain. Oleh karena itu yang harus dikembangkan adalah solidaritas kritis dalam proses emansipasi sosial-politik di mana semua pihak bisa menciptakan suatu suasana terbuka dan memberi sumbangan dialogis terhadap masalah-masalah dasar masyarakat.


KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, yakni gereja-gereja bersama dengan lembaga keagamaan lain tidak boleh menyerahkan moral politik kepada elite politik belaka, yang dibutuhkan adalah moral politik yang benar-benar menjaga harkat dan martabat manusia, khususnya lapisan masyarakat di kalangan bawah yang selalu menjadi korban. Keterlibatan lembaga keagamaan dalam politik adalah untuk menegakan dimensi moral dalam politik. Politik tanpa moral akan selalu menghasilkan penyalahgunaan kekuasaan untuk menindas sesama manusia. Gereja-gereja harus menjadi penjaga yang efektif dalam dunia politik agar harga manusia tidak direduksi dan didistorsi. Di sinilah tepatnya panggilan dan tugas gereja-gereja untuk terbuka pada dialog (komunikasi dua arah) agar dapat menciptakan kehidupan politik dengan landasan moral yang kuat, menjadi pengawal serta harkat martabat manusia yang dipertaruhkan dalam praktik kehidupan politik sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA
1.      Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
2.      Chandra, Robby I. Teologi dan Komunikasi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
3.      Bergumul dalam pengharapan. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.

                      

                                                                                                                                 




[1] Robby I Chandra, Teologi dan Komunikasi. Duta Wacana Christian University Press, 1996. Hlm 64.
[2] Bergumul dalam pengharapan
[3] Bergumul dalam pengharapan

Comments

Popular posts from this blog

MODERNISASI DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR

Resensi Buku Fenomenologi Agama